Wednesday, May 12, 2010

Pungutan Daerah Penghambat Investasi

Di era desentralisasi, pemerintah daerah (pemda) wajib menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investasi di daerah. Namun, sering kali hak pemda untuk membuat peraturan daerah(perda) justru menghambat investasi. Hal ini terjadi karena pemda
umumnya lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek, yaitu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pungutan, baik pajak maupun retribusi daerah dalam bentuk retribusi (dan bukan pajak) yang tidak berimbal jasa juga menghambat investasi.

Secara prinsip, pungutan yang menghambat investasi adalah yang (berpotensi) menimbulkan ekonomi biaya tinggi, antara lain, pungutan berstruktur tarif tak wajar, pungutan berganda dengan pungutan di tingkat pusat, atau pungutan yang tumpang-tindih
dengan pungutan lain yang sejajar. Pungutan yang melanggar prinsip perdagangan dalam negeri yang bebas (free internal trade) dan pungutan dalam bentuk retribusi (dan bukan pajak) yang tidak berimbal jasa juga menghambat investasi.

Tulisan ini menguraikan hasil studi Lembaga Penelitian SMERU (2009) di Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU),dan Kabupaten Flores Timor (Flotim) yang menunjukkan adanya berbagai pungutan yang tidak menunjang iklim usaha yang sehat, yakni (i) retribusi yang menghambat perizinan usaha (barriers to entry), dan (ii) retribusi yang menghambat lalu lintas perdagangan barang dan jasa (barriers to trade).1 Selain itu, sumbangan pihak ketiga (SPK) dan retribusi biaya administrasi juga perlu dicermati

Retribusi Perizinan Usaha
Aspek legalitas penting bagi pengembangan usaha, misalnya, ketika perusahaan membutuhkan kredit bank. Perizinan seharusnya dirancang semudah, semurah, dan secepat mungkin. Ironisnya, World Bank (2009) mencatat bahwa dari segi prosedur, waktu, dan biaya perizinan, tingkat kemudahan memulai usaha di Indonesia menempati urutan ke-122, padahal Vietnam dan Malaysia berada di urutan ke-93 dan ke-23 Ini berarti barriers to entry di Indonesia, termasuk di tiga wilayah penelitian, masih tinggi.

Surat Izin Tempat Usaha (SITU)
Bagi pengusaha di ketiga wilayah penelitian, perizinan usaha yang dianggap paling menyulitkan adalah surat izin tempat usaha (SITU). SITU dikeluarkan oleh Bagian Ekonomi Pemda dan merupakan izin pertama yang wajib diperoleh sebelum mengajukan izin lainnya.

Pengurusan SITU di tiap daerah berbeda-beda. SITU di Kupang termasuk yang termahal dan tersulit. Perda No. 13/1998 tentang Retribusi Izin Gangguan dan perda perubahannya (Perda No. 5/2003) menetapkan struktur tarif pengurusan SITU berdasarkan (i) golongan usaha (3 jenis: besar, menengah, kecil); (ii) jenis gangguan (3 jenis: rendah, menengah, tinggi); (iii) luas tempat usaha (10 jenis: mulai 10m² hingga ≥ 200m²); dan (iv) lokasi tempat usaha (3 jenis: pusat perdagangan, permukiman, industri). Total kemungkinan kombinasi tarif SITU adalah 3 x 3 x 10 x 3 = 270 jenis.

Meskipun berlaku tiga tahun, setiap tahun SITU di Kupang harus didaftar ulang. Denda keterlambatan pendaftaran ulang diberlakukan berdasarkan SK Walikota Kupang No. 41A/SKEP/HK/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda No. 13/1998. Denda bisa mencapai 100% jika keterlambatannya sampai tujuh bulan atau lebih. Prosedur SITU pun cukup rumit karena mensyaratkan 13 dokumen, mulai surat permohonan sampai berita
acara pemeriksaan lapangan. Ketika masa berlaku SITU habis, pelaku usaha memperbaruinya dengan menyetor seluruh dokumen layaknya mengajukan SITU baru.

SITU di Kupang merupakan salah satu contoh penyebab ekonomi biaya tinggi. Perbaikan iklim usaha menuntut perbaikan perizinan sedemikian rupa supaya faktor birokrasi dapat diminimalkan.

Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan(TDP)
Ketentuan terbaru mengenai SIUP dan TDP dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36 dan No. 37/M-DAG/PER/9/2007. Kedua peraturan tersebut terbit menyusul dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 6/2007 tentang Kebijakan
Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Permendag No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan yang menggantikan Permendag No.9/M-DAG/PER/3/2006 menetapkan, antara lain, biaya administrasi pengurusan SIUP baru sebesar Rp0. Adapun tarif pendaftaran
ulang lima tahunan bergantung pada skala usaha. SIUP usaha kecil sebesar Rp100.000, menengah Rp150.000, dan besar Rp300.000.

Permendag No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan menetapkan biaya administrasi pengurusan TDP baru sebesar Rp0 berikut tarif pendaftaran ulang lima tahunan sebesar (i) Rp1.000.000 dan Rp500.000 masing-masing
untuk perusahaan asing dan PT; (ii) Rp250.000 untuk CV, firma,dan bentuk perusahaan lain; (iii) Rp100.000 untuk koperasi dan perusahaan perorangan.

Dari kacamata yuridis, terbitnya permendag tersebut otomatis membatalkan tarif SIUP dan TDP di daerah. Namun, selama di lapangan tidak ditemui pelaku usaha yang menikmati tarif Rp0 saat mengurus SIUP dan TDP baru. Ini mencerminkan sulitnya
melaksanakan ketentuan Pemerintah Pusat di daerah.

Terlepas dari itu, ada dua kritik atas substansi permendag tersebut. Pertama, karena iklim usaha menjadi konsideran, permendag menghapuskan biaya penerbitan SIUP dan TDP baru. Namun, adanya tarif pendaftaran ulang SIUP dan TDP justru menghambat iklim usaha karena tidak ada imbal jasa atas retribusi pendaftaran ulang. Kedua, biaya administrasi ditetapkan berbanding lurus dengan skala usaha, padahal biaya administrasi sebenarnya tidak berkorelasi dengan skala usaha.

Retribusi Lalu Lintas Barang dan Jasa
Keberadaan retribusi lalu lintas barang dan jasa mencerminkan meningkatnya hambatan perdagangan antardaerah (barriers to trade). Hambatan bagi perdagangan bebas mengganggu pertumbuhan ekonomi dan daya saing produk daerah. Soesastro (2001) dan
KPPOD (2003) mengatakan bahwa pungutan ini melanggar prinsip dasar kesatuan ekonomi, yaitu free internal trade.

Temuan SMERU menunjukkan bahwa produk kehutanan paling rawan kena pungutan tersebut. Hal ini menguatkan temuan SMERU sebelumnya (Suharyo et al., 2007). Produk kehutanan di wilayah yang berbeda dipungut dengan cara dan tarif yang berbeda pula.

Di Kabupaten Flotim, pungutan atas hasil hutan kayu dan nonkayu mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No. 858 dan 859/Kpts-II/1999 tentang Besarnya Provisi Sumber Daya Hutan per Satuan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu. Menurut pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Flotim, provisi disetor ke Pemerintah Pusat karena sumber daya hutan merupakan wewenang Pemerintah Pusat (laki-laki, wawancara, 4 Juni 2009). Imbalannya, pemda mendapat proyek kehutanan dari Pemerintah Pusat. Namun, tarif di atas kertas dan tarif di lapangan berbeda karena kepmenhut tersebut sudah dianggap usang. Misalnya, provisi kemiri isi dan asam isi menurut kepmenhut masing-masing adalah Rp55/kg dan Rp17/kg, tetapi tarif di lapangan Rp160/kg dan Rp70/kg.

Di Kabupaten TTU ada banyak sekali hambatan lalu lintas produk kehutanan. Pelaku usaha harus memiliki izin pemanfaatan hasil hutan untuk berdagang dan dokumen pengangkutan untuk mengangkut hasil hutan. Keduanya berlaku sekali pakai. Dasar hukum yang melandasinya adalah (i) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P51, P55, dan P56/Menhut-II/2006, masing-masing tentang penggunaan surat keterangan asal usul (SKAU), penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan negara, dan pedoman zonasi taman nasional; dan (ii) Perda Provinsi NTT No. 18/2008 tentang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu pada Hutan Hak dan Lahan Masyarakat. Menurut seorang pejabat Dinas Perkebunan dan Kehutanan, pungutan dilakukan atas pertimbangan hasil hutan tersebut dulunya ditanam oleh pemerintah. Wajar jika pemerintah mendapat bagian pada saat panen (laki-laki, wawancara, 25 April 2009). Di TTU tarif dalam perda juga berbeda dari tarif lapangan. Tarif kemiri isi, asam isi, dan madu menurut Perda No. 15/2008 masing-masing adalah Rp20/kg, Rp100/kg, dan Rp100/lt, tetapi faktanya harga di lapangan Rp100/kg, Rp175/kg, dan Rp200/lt.

Di Kota Kupang, pelaku usaha masih harus mengurus surat asal komoditas olahan (SAKO) bagi komoditas kehutanan meskipun biayanya jauh lebih kecil daripada di Kabupaten TTU
and Kabupaten Flotim, seperti Rp20/kg untuk kemiri dan Rp5/kg untuk asam. Ruwetnya, SAKO harus diganti beberapa kali. Asam yang dibeli dari Kabupaten TTS, misalnya, harus disertai SAKO yang dikeluarkan Dinas Kehutanan TTS. SAKO ini harus diubah
menjadi SAKO Kabupaten Kupang ketika asam hendak dikapalkan di Kabupaten Kupang.

Hambatan perdagangan yang paling baru adalah peraturan desa (perdes) tentang perdagangan komoditas mete di Flotim. Setiap pedagang harus membayar 1 juta rupiah/musim panen. Meskipun baru berlaku di sebagian kecil desa di daratan Flotim,
ada kecenderungan perdes ini akan cepat diadopsi desa-desa lain. Menurut seorang kepala desa, hal ini dilakukan untuk mendata produksi mete di desa (laki-laki, wawancara, 4 Juni 2009). Namun, jika ingin menghitung produksi, seharusnya retribusinya ditetapkan per kg jual dan bukan borongan (lump sum).

Sumbangan Pihak Ketiga
Apakah SPK merupakan pungutan? Jawabannya, ya dan tidak. Di satu pihak, Perda SPK tidak menyebutkan tarif sumbangan (misalnya, Perda No. 13/2002 di Flotim, Perda No. 13/1998 di TTU, Perda No. 2/2000 di Kupang). Di pihak lain, tarif tersebut
justru tertera dalam produk hukum turunannya. Oleh karena itu, SPK berada pada wilayah abu-abu pungutan daerah.

SPK atau biasa disebut SP3 sangat akrab di telinga pelaku usaha menengah dan besar, terutama mereka yang bersentuhan dengan tender pembangunan atau pengadaan barang dan jasa pemda, misalnya, kontraktor bangunan, pedagang alat tulis, dan produsen
mebel. Di Flotim, pelaku usaha perikanan yang mendapat pekerjaan dari pemerintah juga dipungut “jasa” yang kurang lebih sama dengan SPK. Di TTU, pedagang ternak besar antarpulau membayar SPK atas jasa penimbangan, pengukuran, dan pemeriksaan kesehatan hewan.

Mengapa SPK bermasalah bagi iklim usaha? Menurut Undang- Undang (UU) No. 34/2000 tentang Perubahan atas UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sumber pendapatan asli daerah hanya dua, yakni pajak dan retribusi. Jika
demikian, SPK memang bukan pungutan daerah, tetapi dapat menjadi penerimaan daerah. Artinya, tidak boleh dipungut tetapi boleh diterima tanpa ikatan. Pelaku usaha menyumbang secara ikhlas bukan atas keharusan.

Namun kenyataannya tidak demikian. Meskipun perda SPK menunjukkan sikap pasif pemda, peraturan turunannya (misalnya, surat keputusan) atau peraturan yang paralel dengannya (misalnya, perda biaya administrasi) jelas-jelas menunjukkan
sikap aktif pemda dalam memungut SPK. Hal ini menghambat iklim usaha. SPK seharusnya tidak bertarif. Timbul dilema karena ketiadaan tarif berpotensi kebocoran akibat tidak ada dasar untuk mencocokkan SPK yang diterima instansi pemungut dengan yang
disetorkan ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Menurut seorang responden laki-laki di Larantuka, ketidakjelasan tarif SPK menimbulkan prasangka di antara pelaku usaha (wawancara, 19 Juli 2008). Mereka yang membayar SPK dengan jumlah yang lebih besar dicurigai berpeluang lebih besar untuk memenangkan tender. Pemda pun berpotensi mendiskriminasi pelaku usaha berdasarkan SPK yang dibayarkan.
Menariknya, walaupun kebanyakan pelaku usaha tidak menyukai keberadaan SPK, ada pihak yang menganggapnya bukan gangguan usaha. Misalnya, responden di atas menganggap SPK sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR) pihak swasta untuk menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk kepentingan masyarakat.

Retribusi Biaya Administrasi
Baik TTU maupun Flotim memiliki perda biaya administrasi yang memuat pungutan yang sangat luas cakupannya. Di TTU ada 12 instansi dengan 128 jenis tarif antara Rp500.000 dan Rp1.000.000, sedangkan di Flotim ada 15 instansi dengan 172 jenis tarif antara Rp500–Rp15.000.000. Perda-perda tersebut beridentitas jasa umum, tetapi isinya meliputi perizinan dan SPK.

Di TTU perda penggantian biaya administrasi mengatur biaya penerbitan SITU dan perizinan berbagai dinas, contohnya izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan hasil hutan nonkayu di luar kawasan hutan lindung dari Dinas Kehutanan. Selain itu, perda ini juga mencakup berbagai surat keterangan pengangkutan hasil hutan. Di sisi lain, perda serupa di Flotim mencakup SPK pertanian dan surat-surat yang berkaitan dengan pengangkutan barang di sektor peternakan, perikanan, kehutanan, dan pertanian. Mengingat hal-hal tersebut di atas, perda ini dapat menghambat investasi karena memuat banyak retribusi yang tidak jelas kontraprestasinya.

Penutup: Revisi UU No. 34/2000
Masih menjamurnya pungutan di daerah memicu ekonomi biaya tinggi dan menghambat iklim investasi. Ironisnya, hal ini merupakan konsekuensi dari UU No. 34/2000 yang memberikan meningkat, dan penerimaan daerah turut meningkat.
UU No. 28/2009 sudah memulai proses deregulasi untuk mencerahkan iklim usaha di daerah. Hanya saja UU tersebut belum menentukan nasib perda perizinan usaha (kecuali izin gangguan dan izin usaha perikanan). Berbagai perizinan usaha masih bisa
diberlakukan sampai akhir 2010 sambil menunggu keluarnya peraturan pemerintah (PP). Bisa saja PP ini menetapkan perizinan usaha berlangsung dengan pungutan seperti sekarang ini atau menjadi tanpa pungutan.

Daftar Acuan
Bachtiar, Palmira P., Sulton Mawardi, dan Deswanto Marbun (2009) ‘Iklim Usaha di Kabupaten Flores Timur: Kajian Kondisi Perekonomian dan Regulasi Usaha.’ Laporan Penelitian, Draf Final, 7 Agustus 2009. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

KPPOD (2003) ‘Laporan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2003: Persepsi Dunia Usaha.’ Jakarta: Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Marbun, Deswanto, Palmira P. Bachtiar, dan Sulton Mawardi (2009) ‘Iklim Usaha di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU): Kajian Kondisi Perekonomian dan Regulasi Usaha.’ Laporan Penelitian, Draf Final, 7 Agustus 2009. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

Mawardi, Sulton, Deswanto Marbun, dan Palmira P. Bachtiar (2009) ‘Iklim Usaha di Kota Kupang: Kajian Kondisi Perekonomian dan Regulasi Usaha.’ Laporan Penelitian, Draf Final, 7 Agustus 2009. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

Soeharyo, Widjajanti I., Nina Toyamah, Adri Poesoro, Bambang Sulaksono, Syaikhu Usman, dan Vita Febriany (2007) ‘Iklim Usaha di Provinsi NTT: Kasus Perdagangan Hasil Pertanian di Timor Barat.’ Laporan Penelitian. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

Soesastro, Hadi (2001) ‘Otonomi Daerah dan Free Internal Trade.’ Kolom Pakar [dalam jaringan] [9 November 2009].

World Bank (2008) ‘Doing Business 2009’ [Menjalankan Usaha 2009]. Washington: World Bank

http://smeru.or.id/newslet/2009/news29.pdf

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home