Wednesday, May 19, 2010

Perizinan Usaha Mi numan Beralkohol di Kota Kupang

Budaya masyaakat Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat dekat dengan minuman keras. Sopi atau moke merupakan sajian wajib pada berbagai acara adat: memulai musim tanam , musim panen, “minta nona ” (melamar), sampai acara kematian. Semuanya belum sahih tanpa minuman beralkohol (MB).

Namun, perizinan MB merupakan salah satu yang tersulit di Kota Kupang. Perizinan tersebut berlapis-lapis secara vertikal dan lintas sektoral: produsen ditangani oleh Departemen Perindustrian (Deprin), distributor dan subdistributor oleh Departemen Perdagangan (Depdag), dan pengecer oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Kupang.

Secara singkat, tulisan ini menggam barkan berlikunya jalan yang harus dilalui pelaku usaha MB di Kota Kupang demi memperoleh legalitas bagi usahanya.

Izin Produksi, Distribusi, dan Subdistribusi
Untuk dapat mengurus perizinan di pusat (Deprin atau Deperindag), produsen MB perlu melengkapi perizinan standar di daerah terlebih dahulu. Setelah itu, ia baru dapat mengurus izin usaha industri (IUI) dari Deprin yang mensyaratkan kelulusan atas
berbagai pengujian oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) Jakarta yang datang ke daerah. Selain itu, produsen wajib membayar cukai MB dalam bentuk label Rp1.000/botol.

Selanjutnya, produsen tidak diperkenankan memasarkan produknya sendiri. Produsen harus punya dan harus mengurus izin distributor dan subdistributor yang masing-masing merupakan perusahaan yang berbeda. Selain persyaratan standar di daerah,
surat izin usaha perdagangan (SIUP) MB harus diurus di Depdag Jakarta.

Izin Penjualan
Seperti disebutkan sebelumnya, produsen juga harus mengurus izin bagi para pengecernya. Ada dua macam pengecer MB: mereka yang menjual MB di toko-toko dan mereka yang menjual MB untuk langsung diminum (hotel, restoran, dan lain-lain). Ketentuan perizinannya diatur oleh (i) Peraturan Daerah (Perda) No.33/1998 tentang Surat Izin Tempat Usaha Minuman Beralkohol dan pembaruannya (Perda No. 6/2003), (ii) Perda No. 5/2001 tentang SIUP MB yang wajib didaftarkan setiap tahun.

Baik SITU MB maupun SIUP MB mensyaratkan pengecer untuk memiliki SITU umum, SIUP umum, dan tanda daftar perusahaan (TDP). Jenis MB yang dijual harus dicantumkan secara spesifik pada SIUP MB. Jika merek MB yang dijual dianggap ilegal, mereknya tidak tercantum dalam SIUP MB. Agar legal, setiap kali MB berganti merek, setiap kali pula SIUP diganti.

Apakah Prosedur Perizinan Efektif?
Rumit, mahal, dan lamanya perizinan MB bertujuan mem batas i produksi dan peredaran MB yang memang merupakan komoditas di bawah pengawasan. Selain itu, baik Polresta, Polda, maupun Satpol PP masing-masing punya jadwal rutin operasi penertiban untuk mengawasi produksi dan peredaran MB di lapangan. Pertanyaannya, efektifkah perizinan tersebut dalam menekan produksi dan peredaran MB?

Beberapa pihak yang diwawancarai mengatakan bahwa perlahan tetapi pasti jumlah produsen MB di Kota Kupang berkurang. Indikatornya, tingkat kecelakaan lalu lintas dirasakan berkurang. Ketatnya perizinan dan pengawasan dianggap cukup efektif.

Di sisi lain, ada pihak yang meragukan kesimpulan itu. Salah seorang pengecer laki-laki mengatakan bahwa yang justru terjadi adalah seleksi terhadap produsen (Slamet, bukan nama sebenarnya, laki-laki, wawancara, 29 Maret 2009, Kupang). Hanya produsen besar yang dapat bertahan. Sungguhpun demikian, permintaan MB masih terus bertambah. Buktinya, MB yang didatangkan dari Pulau Jawa membanjiri Kupang. Pengawasan yang ketat juga tidak selalu menimbulkan efek jera bagi para produsen dan pengecer MB ilegal karena meski ada peluang dirazia, selalu ada ruang untuk berspekulasi dan melanjutkan penjualan MB ilegal.

Seorang produsen tak berdokumen yang diwawancarai, sebut saja Pak Vin (50 tahun), mengatakan dirinya tidak mungkin menghentikan produksi karena permintaan selalu ada. Permintaan ada, keuntungan juga ada. Menurutnya, pekerja kasar selalu memerlukan MB di malam hari. MB tradisional buatan Pak Vin yang diberi ramuan akar-akaran penghilang rasa lelah dan menyegarkan tubuh. Pak Vin sendiri sudah berkali-kali dirazia petugas. Malam ini barangnya disita, besok dia mulai lagi dari nol (wawancara, 20 Maret 2009, Kupang).

Di satu pihak, perizinan dan pengawasan menjadikan MB legal makin mahal. Di lain pihak, ada MB ilegal untuk memenuhi permintaan yang tidak menurun karena pada dasarnya MB adalah bagian dari budaya setempat. Ketatnya aturan menyebabkan terjadinya polarisasi produsen MB menjadi dua kelompok, yakni besar sekali atau mikro seperti Pak Vin. Produsen besar harus selalu waspada terhadap masuknya MB Jawa, produsen mikro harus bertahan di pasar gelap sambil kucing-kucingan dengan petugas.

Pemerintah Pusat yang memegang kendali kebijakan atas produksi dan peredaraan MB perlu mempertimbangkan keberadaan pelaku usaha MB lokal. Peraturan bagi produsen berskala kecil dan mikro seharusnya tidak disamakan dengan produsen besar. Kajian
mendalam mengenai hal ini memungkinkan ditemukannya titik di mana pelaku usaha skala kecil dan mikro dapat terus berusaha tanpa mengabaikan pengendalian dan pengawasan MB itu sendiri.

Kotak 1. Punahnya Kejayaan MB Lokal
Saksi hidup kejayaan MB lokal adalah Pak Slamet (bukan nama sebenarnya), salah satu pemain besar di era 1970-an ketika MB masih merupakan barang bebas. Usahanya bangkrut
pada 1985 ketika secara tegas peraturan provinsi melarang produksi MB.

Lima belas tahun sesudahnya, Pak Slamet mencoba bangkit lagi. Namun, karena sudah tua dan sakit-sakitan, Pak Slamet tidak mungkin lagi bekerja sekeras dulu untuk mengumpulkan modal. Jika 1 botol MB berharga Rp5.000, maka diperlukan Rp120.000.000 untuk produksi stok 1.000 peti atau 24.000 botol demi melayani pasar di Kupang dan kabupaten sekitarnya. Paling tidak perlu Rp150.000.000 untuk biaya produksi stok, perizinan bagi distributor, subdistributor, dan pengecer, serta label MB/botol. Belum lagi beberapa izin harus diurus di Jakarta.

Menurut Pak Slamet, pengurusan SIUP MB bagi pengecer oleh produsen laksana berjudi karena merek MB yang diproduksi belum tentu disukai pasar. Jika merek tersebut diganti, SIUP harus diganti. Secara umum, posisi pengecer paling aman. Selain tidak perlu membayar tunai karena produsen tidak menuntut pembayaran langsung, para pengecer tidak perlu mengurus SIUP sehingga aman dari risiko kebangkrutan. Sebaliknya, selain harus bermodal kuat, produsen juga harus pandai membaca keinginan konsumen dan sanggup bersaing dengan MB dari Pulau Jawa.

Bagi Pak Slamet, kejayaan MB lokal adalah masa lalu. Ironisnya, MB lokal terancam punah oleh kemajuan transportasi dan komunikasi. Ketika akses ke Kupang masih sulit, MB lokal menjadi raja di kampung sendiri. Kini, pengecer tinggal mengangkat telepon untuk memesan barang dari Jawa. Keesokan harinya, pesanan tiba di Kupang. MB lokal kalah bersaing dengan MB Jawa, apalagi MB Jawa dianggap lebih bergengsi (wawancara dengan Slamet, 60, 19 Maret 2009, Kupang).

http://smeru.or.id/newslet/2009/news29.pdf

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home