Friday, June 4, 2010

Perizinan Sektor Perikanan di Flores Ti mur

Bagi Kabupaten Flores Timur (Flotim), sektor perikanan adalah sektor primadona. Indikas inya sederhana: ada Pusat Pelelangan Ikan (PPI) yang dibangun Pemerintah Jepang dan ada dua perusahaan penanaman modal asing (PMA) dan delapan perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) di bidang perikanan dan budidaya mutiara. Perusa haan -perusahaan tersebut membeli ikan dari nelayan yang nilainya mencapai miliaran rupiah setiap bulannya. Sayangnya, perizinan disektor ini belum mendukung. Hal ini terungkap dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) sektor perikanan yang dilakukan Lembaga Penelitian SMERU dalam rangka studi iklim usaha di Kabupaten Flotim (Bachtiar, Mawardi, dan Marbun, 2009). Dalam FGD tersebut (30 Mei 2009), para pelaku usaha men geluhkan perizinan yang rumit dan lama. Artikel ini membahas masalah liku-liku perizinan di bidang perikanan di Flotim, termasuk masalah prosedur dan persyaratannya.

Tiga Peraturan Daerah tentang Izin Usaha Perikanan (IUP)
Dalam tujuh tahun terakhir ini peraturan daerah (perda) IUP di Kabupaten Flotim sudah tiga kali berganti. Pertama , Peraturan Daerah (Perda) No. 7/2002 yang salah satu pasalnya mengatur masa berlakunya berbagai izin, yaitu 1–3 tahun (Pasal 5, Ayat 3). Perda tersebut dibatalkan oleh Keputusan Mendagri No. 135/2005 karena Pasal 5, Ayat 3 itu dianggap melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No. 54/2002 tentang Usaha Perikanan yang menyatakan bahwa IUP berlaku selama perusahaan melakukan kegiatan usaha perikanan (Pasal 5, Ayat 2).

Oleh karena itu, dikeluarkan Perda No. 4/2006 yang dalam konsiderannya mencantumkan pelanggaran yang dimaksud. Namun, perda ini ternyata juga tidak menjelaskan tentang IUP yang berlaku seumur hidup sebagaimana diatur dalam PP No. 54/2002 Pasal 5, Ayat 2. Dalam Perda No. 4/2006, Pasal 5, Ayat 3 disebutkan: “Jangka waktu berlakunya IUP akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati.”

Belum sampai dua tahun, keluar lagi Perda No. 14/2008 tentang Retribusi IUP dengan konsideran Pasal 18 PP No. 54/2002 yang menyatakan perlunya pungutan terhadap pengusaha perikanan atas manfaat sumber daya ikan. Ada beberapa kejanggalan dalam
perda ini. Pertama, tidak ada pasal di dalamnya yang membatalkan perda sebelumnya sehingga berpotensi menimbulkan kerancuan.

Kedua, perda ini berjudul retribusi IUP, namun retribusi IUP tidak disebutkan dalam perda (lihat Tabel 1). Ketiga, dalam Pasal 1, Butir 16 disebutkan bahwa izin usaha perikanan IUP adalah “izin yang harus diberikan kepada (dan bukan harus dimiliki oleh) orang pribadi atau badan dalam melakukan kegiatan di bidang perikanan.” Acuan ini menjadi rancu jika izin yang harus diberikan ternyata dikenakan retribusi.

Perizinan Bermasalah
Surat Izin Laik Operasi (SLO)
SLO merupakan izin baru yang belum ada dalam dua perda sebelumnya. Menurut Kepala Dinas Perikanan (wawancara, 4 Juni 2009), SLO mensyaratkan adanya surat izin usaha perikanan (SIUP), surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan surat keterangan anak buah kapal (SKABK). Untuk mendapatkan SKABK harus ada ijazah nahkoda dan kepala kamar mesin. Ijazah ini hanya dapat diperoleh dari Maumere dengan biaya tidak kurang dari 1 juta rupiah.

Surat Izin Berlayar (SIB)
SIB menjadi lebih rumit lagi perolehannya karena sifatnya lintas instansi. Izin untuk menangkap ikan, tidak cukup SIUP, SIPI, dan SLO dari Dinas Perikanan saja. Pelaku usaha masih harus mengurus SIB dari syahbandar. SIB akan keluar jika SLO dilengkapi dengan buku pelaut dan sijil (daftar awak kapal) serta bukti pelunasan asuransi (lihat Gambar 1).

Surat-Surat Lain untuk Pengangkutan Hasil Perikanan
Selain surat izin pengangkutan hasil perikanan yang disyaratkan oleh Perda No. 14/200 8, pelaku usaha pengangkutan hasil laut masih memerlukan empat surat lain, yaitu: (i) surat penjualan hasil laut antar kabupaten; (ii) surat keterangan asal barang (SKAB); (iii) berita acara pemeriksaan barang; dan (iv) surat keterangan mutu barang. Biaya keempat surat ini masing-masing Rp35.000. Surat-surat ini mencerminkan birokrasi yang pada prinsipnya bertentangan dengan ketentuan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan perdagangan bebas. Artinya, setiap warga negara seharusnya bebas berdagang di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penutup
Berbagai perizinan di atas menjadi ilustrasi ekonomi biaya tinggi. Di satu pihak, kajian tekstual memperlihatkan bahwa Perda No. 14/2008 sendiri secara substantif tidak memuat persyaratan dan lama pengurusan izin. Ketidakjelasan ini membuka peluang
pungutan liar oleh oknum. Oleh karena itu, perda tersebut perlu direvisi. Di lain pihak, kajian kontekstual menunjukkan banyaknya keluhan pelaku usaha perikanan terhadap pungutan liar di lapangan. Lebih parah lagi, sekalipun telah melengkapi
perizinan, mereka tetap harus membayar biaya tambahan kepada petugas di lapangan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home