Wednesday, May 19, 2010

Perizinan Usaha Mi numan Beralkohol di Kota Kupang

Budaya masyaakat Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat dekat dengan minuman keras. Sopi atau moke merupakan sajian wajib pada berbagai acara adat: memulai musim tanam , musim panen, “minta nona ” (melamar), sampai acara kematian. Semuanya belum sahih tanpa minuman beralkohol (MB).

Namun, perizinan MB merupakan salah satu yang tersulit di Kota Kupang. Perizinan tersebut berlapis-lapis secara vertikal dan lintas sektoral: produsen ditangani oleh Departemen Perindustrian (Deprin), distributor dan subdistributor oleh Departemen Perdagangan (Depdag), dan pengecer oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Kupang.

Secara singkat, tulisan ini menggam barkan berlikunya jalan yang harus dilalui pelaku usaha MB di Kota Kupang demi memperoleh legalitas bagi usahanya.

Izin Produksi, Distribusi, dan Subdistribusi
Untuk dapat mengurus perizinan di pusat (Deprin atau Deperindag), produsen MB perlu melengkapi perizinan standar di daerah terlebih dahulu. Setelah itu, ia baru dapat mengurus izin usaha industri (IUI) dari Deprin yang mensyaratkan kelulusan atas
berbagai pengujian oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) Jakarta yang datang ke daerah. Selain itu, produsen wajib membayar cukai MB dalam bentuk label Rp1.000/botol.

Selanjutnya, produsen tidak diperkenankan memasarkan produknya sendiri. Produsen harus punya dan harus mengurus izin distributor dan subdistributor yang masing-masing merupakan perusahaan yang berbeda. Selain persyaratan standar di daerah,
surat izin usaha perdagangan (SIUP) MB harus diurus di Depdag Jakarta.

Izin Penjualan
Seperti disebutkan sebelumnya, produsen juga harus mengurus izin bagi para pengecernya. Ada dua macam pengecer MB: mereka yang menjual MB di toko-toko dan mereka yang menjual MB untuk langsung diminum (hotel, restoran, dan lain-lain). Ketentuan perizinannya diatur oleh (i) Peraturan Daerah (Perda) No.33/1998 tentang Surat Izin Tempat Usaha Minuman Beralkohol dan pembaruannya (Perda No. 6/2003), (ii) Perda No. 5/2001 tentang SIUP MB yang wajib didaftarkan setiap tahun.

Baik SITU MB maupun SIUP MB mensyaratkan pengecer untuk memiliki SITU umum, SIUP umum, dan tanda daftar perusahaan (TDP). Jenis MB yang dijual harus dicantumkan secara spesifik pada SIUP MB. Jika merek MB yang dijual dianggap ilegal, mereknya tidak tercantum dalam SIUP MB. Agar legal, setiap kali MB berganti merek, setiap kali pula SIUP diganti.

Apakah Prosedur Perizinan Efektif?
Rumit, mahal, dan lamanya perizinan MB bertujuan mem batas i produksi dan peredaran MB yang memang merupakan komoditas di bawah pengawasan. Selain itu, baik Polresta, Polda, maupun Satpol PP masing-masing punya jadwal rutin operasi penertiban untuk mengawasi produksi dan peredaran MB di lapangan. Pertanyaannya, efektifkah perizinan tersebut dalam menekan produksi dan peredaran MB?

Beberapa pihak yang diwawancarai mengatakan bahwa perlahan tetapi pasti jumlah produsen MB di Kota Kupang berkurang. Indikatornya, tingkat kecelakaan lalu lintas dirasakan berkurang. Ketatnya perizinan dan pengawasan dianggap cukup efektif.

Di sisi lain, ada pihak yang meragukan kesimpulan itu. Salah seorang pengecer laki-laki mengatakan bahwa yang justru terjadi adalah seleksi terhadap produsen (Slamet, bukan nama sebenarnya, laki-laki, wawancara, 29 Maret 2009, Kupang). Hanya produsen besar yang dapat bertahan. Sungguhpun demikian, permintaan MB masih terus bertambah. Buktinya, MB yang didatangkan dari Pulau Jawa membanjiri Kupang. Pengawasan yang ketat juga tidak selalu menimbulkan efek jera bagi para produsen dan pengecer MB ilegal karena meski ada peluang dirazia, selalu ada ruang untuk berspekulasi dan melanjutkan penjualan MB ilegal.

Seorang produsen tak berdokumen yang diwawancarai, sebut saja Pak Vin (50 tahun), mengatakan dirinya tidak mungkin menghentikan produksi karena permintaan selalu ada. Permintaan ada, keuntungan juga ada. Menurutnya, pekerja kasar selalu memerlukan MB di malam hari. MB tradisional buatan Pak Vin yang diberi ramuan akar-akaran penghilang rasa lelah dan menyegarkan tubuh. Pak Vin sendiri sudah berkali-kali dirazia petugas. Malam ini barangnya disita, besok dia mulai lagi dari nol (wawancara, 20 Maret 2009, Kupang).

Di satu pihak, perizinan dan pengawasan menjadikan MB legal makin mahal. Di lain pihak, ada MB ilegal untuk memenuhi permintaan yang tidak menurun karena pada dasarnya MB adalah bagian dari budaya setempat. Ketatnya aturan menyebabkan terjadinya polarisasi produsen MB menjadi dua kelompok, yakni besar sekali atau mikro seperti Pak Vin. Produsen besar harus selalu waspada terhadap masuknya MB Jawa, produsen mikro harus bertahan di pasar gelap sambil kucing-kucingan dengan petugas.

Pemerintah Pusat yang memegang kendali kebijakan atas produksi dan peredaraan MB perlu mempertimbangkan keberadaan pelaku usaha MB lokal. Peraturan bagi produsen berskala kecil dan mikro seharusnya tidak disamakan dengan produsen besar. Kajian
mendalam mengenai hal ini memungkinkan ditemukannya titik di mana pelaku usaha skala kecil dan mikro dapat terus berusaha tanpa mengabaikan pengendalian dan pengawasan MB itu sendiri.

Kotak 1. Punahnya Kejayaan MB Lokal
Saksi hidup kejayaan MB lokal adalah Pak Slamet (bukan nama sebenarnya), salah satu pemain besar di era 1970-an ketika MB masih merupakan barang bebas. Usahanya bangkrut
pada 1985 ketika secara tegas peraturan provinsi melarang produksi MB.

Lima belas tahun sesudahnya, Pak Slamet mencoba bangkit lagi. Namun, karena sudah tua dan sakit-sakitan, Pak Slamet tidak mungkin lagi bekerja sekeras dulu untuk mengumpulkan modal. Jika 1 botol MB berharga Rp5.000, maka diperlukan Rp120.000.000 untuk produksi stok 1.000 peti atau 24.000 botol demi melayani pasar di Kupang dan kabupaten sekitarnya. Paling tidak perlu Rp150.000.000 untuk biaya produksi stok, perizinan bagi distributor, subdistributor, dan pengecer, serta label MB/botol. Belum lagi beberapa izin harus diurus di Jakarta.

Menurut Pak Slamet, pengurusan SIUP MB bagi pengecer oleh produsen laksana berjudi karena merek MB yang diproduksi belum tentu disukai pasar. Jika merek tersebut diganti, SIUP harus diganti. Secara umum, posisi pengecer paling aman. Selain tidak perlu membayar tunai karena produsen tidak menuntut pembayaran langsung, para pengecer tidak perlu mengurus SIUP sehingga aman dari risiko kebangkrutan. Sebaliknya, selain harus bermodal kuat, produsen juga harus pandai membaca keinginan konsumen dan sanggup bersaing dengan MB dari Pulau Jawa.

Bagi Pak Slamet, kejayaan MB lokal adalah masa lalu. Ironisnya, MB lokal terancam punah oleh kemajuan transportasi dan komunikasi. Ketika akses ke Kupang masih sulit, MB lokal menjadi raja di kampung sendiri. Kini, pengecer tinggal mengangkat telepon untuk memesan barang dari Jawa. Keesokan harinya, pesanan tiba di Kupang. MB lokal kalah bersaing dengan MB Jawa, apalagi MB Jawa dianggap lebih bergengsi (wawancara dengan Slamet, 60, 19 Maret 2009, Kupang).

http://smeru.or.id/newslet/2009/news29.pdf

Wednesday, May 12, 2010

Pungutan Daerah Penghambat Investasi

Di era desentralisasi, pemerintah daerah (pemda) wajib menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investasi di daerah. Namun, sering kali hak pemda untuk membuat peraturan daerah(perda) justru menghambat investasi. Hal ini terjadi karena pemda
umumnya lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek, yaitu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pungutan, baik pajak maupun retribusi daerah dalam bentuk retribusi (dan bukan pajak) yang tidak berimbal jasa juga menghambat investasi.

Secara prinsip, pungutan yang menghambat investasi adalah yang (berpotensi) menimbulkan ekonomi biaya tinggi, antara lain, pungutan berstruktur tarif tak wajar, pungutan berganda dengan pungutan di tingkat pusat, atau pungutan yang tumpang-tindih
dengan pungutan lain yang sejajar. Pungutan yang melanggar prinsip perdagangan dalam negeri yang bebas (free internal trade) dan pungutan dalam bentuk retribusi (dan bukan pajak) yang tidak berimbal jasa juga menghambat investasi.

Tulisan ini menguraikan hasil studi Lembaga Penelitian SMERU (2009) di Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU),dan Kabupaten Flores Timor (Flotim) yang menunjukkan adanya berbagai pungutan yang tidak menunjang iklim usaha yang sehat, yakni (i) retribusi yang menghambat perizinan usaha (barriers to entry), dan (ii) retribusi yang menghambat lalu lintas perdagangan barang dan jasa (barriers to trade).1 Selain itu, sumbangan pihak ketiga (SPK) dan retribusi biaya administrasi juga perlu dicermati

Retribusi Perizinan Usaha
Aspek legalitas penting bagi pengembangan usaha, misalnya, ketika perusahaan membutuhkan kredit bank. Perizinan seharusnya dirancang semudah, semurah, dan secepat mungkin. Ironisnya, World Bank (2009) mencatat bahwa dari segi prosedur, waktu, dan biaya perizinan, tingkat kemudahan memulai usaha di Indonesia menempati urutan ke-122, padahal Vietnam dan Malaysia berada di urutan ke-93 dan ke-23 Ini berarti barriers to entry di Indonesia, termasuk di tiga wilayah penelitian, masih tinggi.

Surat Izin Tempat Usaha (SITU)
Bagi pengusaha di ketiga wilayah penelitian, perizinan usaha yang dianggap paling menyulitkan adalah surat izin tempat usaha (SITU). SITU dikeluarkan oleh Bagian Ekonomi Pemda dan merupakan izin pertama yang wajib diperoleh sebelum mengajukan izin lainnya.

Pengurusan SITU di tiap daerah berbeda-beda. SITU di Kupang termasuk yang termahal dan tersulit. Perda No. 13/1998 tentang Retribusi Izin Gangguan dan perda perubahannya (Perda No. 5/2003) menetapkan struktur tarif pengurusan SITU berdasarkan (i) golongan usaha (3 jenis: besar, menengah, kecil); (ii) jenis gangguan (3 jenis: rendah, menengah, tinggi); (iii) luas tempat usaha (10 jenis: mulai 10m² hingga ≥ 200m²); dan (iv) lokasi tempat usaha (3 jenis: pusat perdagangan, permukiman, industri). Total kemungkinan kombinasi tarif SITU adalah 3 x 3 x 10 x 3 = 270 jenis.

Meskipun berlaku tiga tahun, setiap tahun SITU di Kupang harus didaftar ulang. Denda keterlambatan pendaftaran ulang diberlakukan berdasarkan SK Walikota Kupang No. 41A/SKEP/HK/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda No. 13/1998. Denda bisa mencapai 100% jika keterlambatannya sampai tujuh bulan atau lebih. Prosedur SITU pun cukup rumit karena mensyaratkan 13 dokumen, mulai surat permohonan sampai berita
acara pemeriksaan lapangan. Ketika masa berlaku SITU habis, pelaku usaha memperbaruinya dengan menyetor seluruh dokumen layaknya mengajukan SITU baru.

SITU di Kupang merupakan salah satu contoh penyebab ekonomi biaya tinggi. Perbaikan iklim usaha menuntut perbaikan perizinan sedemikian rupa supaya faktor birokrasi dapat diminimalkan.

Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan(TDP)
Ketentuan terbaru mengenai SIUP dan TDP dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36 dan No. 37/M-DAG/PER/9/2007. Kedua peraturan tersebut terbit menyusul dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 6/2007 tentang Kebijakan
Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Permendag No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan yang menggantikan Permendag No.9/M-DAG/PER/3/2006 menetapkan, antara lain, biaya administrasi pengurusan SIUP baru sebesar Rp0. Adapun tarif pendaftaran
ulang lima tahunan bergantung pada skala usaha. SIUP usaha kecil sebesar Rp100.000, menengah Rp150.000, dan besar Rp300.000.

Permendag No. 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan menetapkan biaya administrasi pengurusan TDP baru sebesar Rp0 berikut tarif pendaftaran ulang lima tahunan sebesar (i) Rp1.000.000 dan Rp500.000 masing-masing
untuk perusahaan asing dan PT; (ii) Rp250.000 untuk CV, firma,dan bentuk perusahaan lain; (iii) Rp100.000 untuk koperasi dan perusahaan perorangan.

Dari kacamata yuridis, terbitnya permendag tersebut otomatis membatalkan tarif SIUP dan TDP di daerah. Namun, selama di lapangan tidak ditemui pelaku usaha yang menikmati tarif Rp0 saat mengurus SIUP dan TDP baru. Ini mencerminkan sulitnya
melaksanakan ketentuan Pemerintah Pusat di daerah.

Terlepas dari itu, ada dua kritik atas substansi permendag tersebut. Pertama, karena iklim usaha menjadi konsideran, permendag menghapuskan biaya penerbitan SIUP dan TDP baru. Namun, adanya tarif pendaftaran ulang SIUP dan TDP justru menghambat iklim usaha karena tidak ada imbal jasa atas retribusi pendaftaran ulang. Kedua, biaya administrasi ditetapkan berbanding lurus dengan skala usaha, padahal biaya administrasi sebenarnya tidak berkorelasi dengan skala usaha.

Retribusi Lalu Lintas Barang dan Jasa
Keberadaan retribusi lalu lintas barang dan jasa mencerminkan meningkatnya hambatan perdagangan antardaerah (barriers to trade). Hambatan bagi perdagangan bebas mengganggu pertumbuhan ekonomi dan daya saing produk daerah. Soesastro (2001) dan
KPPOD (2003) mengatakan bahwa pungutan ini melanggar prinsip dasar kesatuan ekonomi, yaitu free internal trade.

Temuan SMERU menunjukkan bahwa produk kehutanan paling rawan kena pungutan tersebut. Hal ini menguatkan temuan SMERU sebelumnya (Suharyo et al., 2007). Produk kehutanan di wilayah yang berbeda dipungut dengan cara dan tarif yang berbeda pula.

Di Kabupaten Flotim, pungutan atas hasil hutan kayu dan nonkayu mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No. 858 dan 859/Kpts-II/1999 tentang Besarnya Provisi Sumber Daya Hutan per Satuan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu. Menurut pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Flotim, provisi disetor ke Pemerintah Pusat karena sumber daya hutan merupakan wewenang Pemerintah Pusat (laki-laki, wawancara, 4 Juni 2009). Imbalannya, pemda mendapat proyek kehutanan dari Pemerintah Pusat. Namun, tarif di atas kertas dan tarif di lapangan berbeda karena kepmenhut tersebut sudah dianggap usang. Misalnya, provisi kemiri isi dan asam isi menurut kepmenhut masing-masing adalah Rp55/kg dan Rp17/kg, tetapi tarif di lapangan Rp160/kg dan Rp70/kg.

Di Kabupaten TTU ada banyak sekali hambatan lalu lintas produk kehutanan. Pelaku usaha harus memiliki izin pemanfaatan hasil hutan untuk berdagang dan dokumen pengangkutan untuk mengangkut hasil hutan. Keduanya berlaku sekali pakai. Dasar hukum yang melandasinya adalah (i) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P51, P55, dan P56/Menhut-II/2006, masing-masing tentang penggunaan surat keterangan asal usul (SKAU), penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan negara, dan pedoman zonasi taman nasional; dan (ii) Perda Provinsi NTT No. 18/2008 tentang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu pada Hutan Hak dan Lahan Masyarakat. Menurut seorang pejabat Dinas Perkebunan dan Kehutanan, pungutan dilakukan atas pertimbangan hasil hutan tersebut dulunya ditanam oleh pemerintah. Wajar jika pemerintah mendapat bagian pada saat panen (laki-laki, wawancara, 25 April 2009). Di TTU tarif dalam perda juga berbeda dari tarif lapangan. Tarif kemiri isi, asam isi, dan madu menurut Perda No. 15/2008 masing-masing adalah Rp20/kg, Rp100/kg, dan Rp100/lt, tetapi faktanya harga di lapangan Rp100/kg, Rp175/kg, dan Rp200/lt.

Di Kota Kupang, pelaku usaha masih harus mengurus surat asal komoditas olahan (SAKO) bagi komoditas kehutanan meskipun biayanya jauh lebih kecil daripada di Kabupaten TTU
and Kabupaten Flotim, seperti Rp20/kg untuk kemiri dan Rp5/kg untuk asam. Ruwetnya, SAKO harus diganti beberapa kali. Asam yang dibeli dari Kabupaten TTS, misalnya, harus disertai SAKO yang dikeluarkan Dinas Kehutanan TTS. SAKO ini harus diubah
menjadi SAKO Kabupaten Kupang ketika asam hendak dikapalkan di Kabupaten Kupang.

Hambatan perdagangan yang paling baru adalah peraturan desa (perdes) tentang perdagangan komoditas mete di Flotim. Setiap pedagang harus membayar 1 juta rupiah/musim panen. Meskipun baru berlaku di sebagian kecil desa di daratan Flotim,
ada kecenderungan perdes ini akan cepat diadopsi desa-desa lain. Menurut seorang kepala desa, hal ini dilakukan untuk mendata produksi mete di desa (laki-laki, wawancara, 4 Juni 2009). Namun, jika ingin menghitung produksi, seharusnya retribusinya ditetapkan per kg jual dan bukan borongan (lump sum).

Sumbangan Pihak Ketiga
Apakah SPK merupakan pungutan? Jawabannya, ya dan tidak. Di satu pihak, Perda SPK tidak menyebutkan tarif sumbangan (misalnya, Perda No. 13/2002 di Flotim, Perda No. 13/1998 di TTU, Perda No. 2/2000 di Kupang). Di pihak lain, tarif tersebut
justru tertera dalam produk hukum turunannya. Oleh karena itu, SPK berada pada wilayah abu-abu pungutan daerah.

SPK atau biasa disebut SP3 sangat akrab di telinga pelaku usaha menengah dan besar, terutama mereka yang bersentuhan dengan tender pembangunan atau pengadaan barang dan jasa pemda, misalnya, kontraktor bangunan, pedagang alat tulis, dan produsen
mebel. Di Flotim, pelaku usaha perikanan yang mendapat pekerjaan dari pemerintah juga dipungut “jasa” yang kurang lebih sama dengan SPK. Di TTU, pedagang ternak besar antarpulau membayar SPK atas jasa penimbangan, pengukuran, dan pemeriksaan kesehatan hewan.

Mengapa SPK bermasalah bagi iklim usaha? Menurut Undang- Undang (UU) No. 34/2000 tentang Perubahan atas UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sumber pendapatan asli daerah hanya dua, yakni pajak dan retribusi. Jika
demikian, SPK memang bukan pungutan daerah, tetapi dapat menjadi penerimaan daerah. Artinya, tidak boleh dipungut tetapi boleh diterima tanpa ikatan. Pelaku usaha menyumbang secara ikhlas bukan atas keharusan.

Namun kenyataannya tidak demikian. Meskipun perda SPK menunjukkan sikap pasif pemda, peraturan turunannya (misalnya, surat keputusan) atau peraturan yang paralel dengannya (misalnya, perda biaya administrasi) jelas-jelas menunjukkan
sikap aktif pemda dalam memungut SPK. Hal ini menghambat iklim usaha. SPK seharusnya tidak bertarif. Timbul dilema karena ketiadaan tarif berpotensi kebocoran akibat tidak ada dasar untuk mencocokkan SPK yang diterima instansi pemungut dengan yang
disetorkan ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Menurut seorang responden laki-laki di Larantuka, ketidakjelasan tarif SPK menimbulkan prasangka di antara pelaku usaha (wawancara, 19 Juli 2008). Mereka yang membayar SPK dengan jumlah yang lebih besar dicurigai berpeluang lebih besar untuk memenangkan tender. Pemda pun berpotensi mendiskriminasi pelaku usaha berdasarkan SPK yang dibayarkan.
Menariknya, walaupun kebanyakan pelaku usaha tidak menyukai keberadaan SPK, ada pihak yang menganggapnya bukan gangguan usaha. Misalnya, responden di atas menganggap SPK sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR) pihak swasta untuk menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk kepentingan masyarakat.

Retribusi Biaya Administrasi
Baik TTU maupun Flotim memiliki perda biaya administrasi yang memuat pungutan yang sangat luas cakupannya. Di TTU ada 12 instansi dengan 128 jenis tarif antara Rp500.000 dan Rp1.000.000, sedangkan di Flotim ada 15 instansi dengan 172 jenis tarif antara Rp500–Rp15.000.000. Perda-perda tersebut beridentitas jasa umum, tetapi isinya meliputi perizinan dan SPK.

Di TTU perda penggantian biaya administrasi mengatur biaya penerbitan SITU dan perizinan berbagai dinas, contohnya izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan hasil hutan nonkayu di luar kawasan hutan lindung dari Dinas Kehutanan. Selain itu, perda ini juga mencakup berbagai surat keterangan pengangkutan hasil hutan. Di sisi lain, perda serupa di Flotim mencakup SPK pertanian dan surat-surat yang berkaitan dengan pengangkutan barang di sektor peternakan, perikanan, kehutanan, dan pertanian. Mengingat hal-hal tersebut di atas, perda ini dapat menghambat investasi karena memuat banyak retribusi yang tidak jelas kontraprestasinya.

Penutup: Revisi UU No. 34/2000
Masih menjamurnya pungutan di daerah memicu ekonomi biaya tinggi dan menghambat iklim investasi. Ironisnya, hal ini merupakan konsekuensi dari UU No. 34/2000 yang memberikan meningkat, dan penerimaan daerah turut meningkat.
UU No. 28/2009 sudah memulai proses deregulasi untuk mencerahkan iklim usaha di daerah. Hanya saja UU tersebut belum menentukan nasib perda perizinan usaha (kecuali izin gangguan dan izin usaha perikanan). Berbagai perizinan usaha masih bisa
diberlakukan sampai akhir 2010 sambil menunggu keluarnya peraturan pemerintah (PP). Bisa saja PP ini menetapkan perizinan usaha berlangsung dengan pungutan seperti sekarang ini atau menjadi tanpa pungutan.

Daftar Acuan
Bachtiar, Palmira P., Sulton Mawardi, dan Deswanto Marbun (2009) ‘Iklim Usaha di Kabupaten Flores Timur: Kajian Kondisi Perekonomian dan Regulasi Usaha.’ Laporan Penelitian, Draf Final, 7 Agustus 2009. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

KPPOD (2003) ‘Laporan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2003: Persepsi Dunia Usaha.’ Jakarta: Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Marbun, Deswanto, Palmira P. Bachtiar, dan Sulton Mawardi (2009) ‘Iklim Usaha di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU): Kajian Kondisi Perekonomian dan Regulasi Usaha.’ Laporan Penelitian, Draf Final, 7 Agustus 2009. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

Mawardi, Sulton, Deswanto Marbun, dan Palmira P. Bachtiar (2009) ‘Iklim Usaha di Kota Kupang: Kajian Kondisi Perekonomian dan Regulasi Usaha.’ Laporan Penelitian, Draf Final, 7 Agustus 2009. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

Soeharyo, Widjajanti I., Nina Toyamah, Adri Poesoro, Bambang Sulaksono, Syaikhu Usman, dan Vita Febriany (2007) ‘Iklim Usaha di Provinsi NTT: Kasus Perdagangan Hasil Pertanian di Timor Barat.’ Laporan Penelitian. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

Soesastro, Hadi (2001) ‘Otonomi Daerah dan Free Internal Trade.’ Kolom Pakar [dalam jaringan] [9 November 2009].

World Bank (2008) ‘Doing Business 2009’ [Menjalankan Usaha 2009]. Washington: World Bank

http://smeru.or.id/newslet/2009/news29.pdf

Monday, May 10, 2010

The development of cash crops under ACFTA

For thousands of years, people all over the world have been trading. Since then, millions have enjoyed better a quality of life through exchanging goods and services.

But when trade liberalization became the mainstream in the beginning of the 21st century, with the increasing affluence of transnational corporations, people start questioning the extent to which trade helped farmers in developing countries to move out of poverty.

While Anuradha Mittal (2007) argued the world market of food referred to the international trade of food surpluses by the EU and the US, this article discusses cash crops — the crops with high cash and export values — in relation to free trade.

Free trade might be unpopular to advocate these days as farmers in rural areas have been blaming it for their plight even before the official advent of the ACFTA in Indonesia early this year.

Cash-crop farmers still demanded the government fix the price and buy the produce through cooperatives:
a policy applied before the signing of the Letter of Intent on free trade with the IMF in 1998.

Free trade, which advocates no price intervention, is believed to bring misery to farmers. There are two
things that arise in relation to price intervention.

First, price intervention taking a form of a marketing board is an outdated concept. The trading of cash crops requires experience and strong business instinct as even a small mistake could result in bankruptcy.
The prospect of a marketing board has deteriorated even more with recent technology that speeds up the price fluctuation.

Many traders went into insolvency, let alone government-run boards. We should never forget the fate of the marketing board of clove and Pontianak orange that had cost the country a fortune.

Second, most farmers encounter cash flow problems. When harvest comes, farmers sell simultaneously in pursuit of cash. Harvest season usually arrives together with the beginning of school or religious rituals making up the pressing needs of farm households.

In the absence of the government’s price intervention, the more they sell for cash, the more this drives the price down.

This problem could be avoided if farmers could await the end of harvest and sell when the price started to climb.

At this micro level, institutions are very important. Savings and warehouse can help farmers improve their bargaining power.

NGOs are best at encouraging farmers to work together and trust each other. With group savings, poor
farmers in need are able to borrow instead of selling their produce at lower price.

Meanwhile, a safe warehouse enables farmers to store the harvest until it is profitable enough to sell.
Government and NGOs should help assist the realization of savings and warehouse.

Free trade advocates neither price nor provide input on interventions. The latter is believed to benefit only the big farmers and smugglers.

Instead, subsidies to farmers should come in the form of cash transfers — either conditional or unconditional. Cash transfers are a more effective method of intervention as farmers’ welfare is not only dependent on their production but also their consumption.

Back to farmers’ complaints, is their difficulty really caused by free trade or other underlying economic problems and distortions? Do they face monopsonistic market? But free trade is against both monopoly and monopsony.

Unless national anti-trust commissions take action on this matter, the benefit of the cash-crop trade will continue to end in the hands of these few monopolists and monopsonists.

There are other problems at the macro level that have nothing to do with free trade. First is infrastructure.
Infrastructure is key to farmers’ bargaining power. Limited infrastructure brings the condition where intermediaries dictate the price in the village, simply because they know farmers cannot afford to sell elsewhere.

Good quality of roads lowers farmers’ dependency on intermediaries. It enables them to take their products to other buyers. Also, intermediaries are able to operate at a lower cost and, hence, invite more competitors that eventually force each of them to lower their profit margins.

From a consumption point of view, cheaper transportation costs maintain farmers’ purchasing power. Bad infrastructure, on the contrary, could trigger inflation; the enemy of the poor. Meanwhile, free trade could help ease inflation thanks to cheaper imported raw materials.

Second, cash-crop traders face trade barriers imposed by the local governments. Transportation of crops requires various permits that cost the traders’ time and money. This diminishes the competitiveness of Indonesian cash crops (Hadi Soesastro, 2001). Who bears these costs? Farmers, of course! Traders internalize these costs and lower the buying price from farmers.

Thus, both infrastructure and trade barriers are the underlying troubles of farmers’ and have nothing to do with free trade. To ease the farmers’ sorrow, governments should do something about these rather than begging for the delay of the ACFTA.

But could the ACFTA be an opportunity for the welfare of cash-crop farmers? Under the free trade regime the development of cash crops faces tough competition as quality counts.

Consumers in developed countries desire hazard-free products along with better appearance. Organic products are then high in demand.

Some farmers in East Flores have enjoyed supplying European market with organic cashew nuts at double or even triple the price.

Meanwhile, some experts predict slower growth in cash-crop demand in Europe and North America due to lower population growth.

However, China has emerged to be a new prospective market. With 1.2 billion people supported by strong economic growth, the global market of cash crops will continue to increase in the years to come.

The development of cash crops under the ACFTA is projected to grow with the slogan “sold in China” instead of “made in China”.

Palmira Permata Bachtiar, Jakarta | Thu, 02/18/2010 11:25 AM | Opinion
http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/18/the-development-cash-crops-under-acfta.html

Friday, May 7, 2010

Is there a Carrefour monopoly in Indonesian retailing?

Since its first stored opened in central Jakarta in 1998, Carrefour has quickly expanded to 37 stores across Indonesia, reaching annual sales of 627 million Euros by 2006. However, the rise of Carrefour has not been seamless. In 2005, Carrefour paid a Rp1.5 billion (US$148,515) fine due to its behavior deemed as abuse of its dominant market position which damaged wholesalers through ‘minus margin’. The French-owned retail giant is now once again in troubled waters.

This time, the problem started with a recent acquisition in January by Carrefour of a local supermarket operator, PT Alfa Retailindo (Alfa). Thanks to this Rp 674 billion (US$58.6 million) transaction, Carrefour acquired a 75 per cent share of Alfa, which has 29 supermarkets in Indonesia, with annual sales reaching Rp 3.6 trillion (US$310 million) in 2006.

However, in doing so, Carrefour may have violated Law No. 5/1999, which restricts monopolistic and other forms of unhealthy business practices. KPPU, the Indonesian Business Competition Supervisory Commission, suspects that, the giant retail company has violated clause No.1 of chapter 17 of the law restricting businesses from acts leading to monopolistic practices, chapter 25 forbidding businesses from exploiting market dominance to control trading terms, and chapter 28 prohibiting businesses from undertaking mergers and share-buying that can lead to monopolistic practices. If the regulator finds fault, Carrefour could be fined up to Rp 25 billion (US$2.5 million).

More specifically, clause No. 2 of chapter 25 of the law says that a market share of 50 per cent (or more) indicates possible monopolistic practices. Consequently, the calculation of Carrefour’s share in the relevant markets became a focal point. KPPU’s research suggests that Carrefour dominates 66.73 per cent of shares in the upstream market, up from 44.74 per cent prior to the acquisition. In stark contrast, Carrefour disputes this figure with AC Nielsen’s numbers indicating Carrefour’s market share is merely 7 per cent even after the acquisition.

Such difference seems too large to make sense. To solve this puzzle, one has to ask what is the definition of relevant markets, i.e. the denominator used to calculate market share. In this case, Carrefour’s market definition is likely to cover mini-markets and traditional retailers. In contrast, KPPU emphasizes the differences in the characteristics of modern markets, and defines only supermarket and hypermarket retailing as the relevant markets. In addition, AC Nielsen’s research also gave emphasis to the grocery and foodstuffs category. Consequently, the different market definitions contribute to the large discrepancy in the calculation of Carrefour’s market share.

It is not difficult to see that such heated debate over whose market definition is more appropriate is predominantly due to its implication on whether Carrefour’s market share has exceeded the 50 per cent threshold, which in turn leads to the allegation of monopolistic practice. However, put the case into the broader context of competition law enforcement, and one quickly realizes that market shares per se may not be an informative indicator of threat to competition posed by a business.

This is because a market shares-based analysis assumes that the competitive influence of businesses within the market is in direct proportion to their market shares. However, in industries consisting of differentiated products, such as the retail of general merchandise, the real market strength of a business is the extent to which a significant proportion of customers view Carrefour and other retailers as close competitors. Market share alone can be misleading.

While KPPU’s public assessment is ongoing, it is important to look beyond and consider the broader objective of fostering a healthy business environment, which is the whole purpose of anti-monopoly law enforcement. The key point is how to ensure a clear, predictable, and transparent process that is aimed at protecting businesses and the public from anticompetitive behavior, and punishing abusive and monopolistic behavior.

Therefore, the main consideration should rest on the consequence of acquisition, compared against the likely competitive position if the merger was not to proceed. In KPPU’s defense, the commission has questioned Carrefour’s businesses practice that is potentially anti-competition, such as charging suppliers sizeable opening, listing and promotion fees. More attention should be channeled in this direction. The right questions to ask should be would the merger have the effect, or likely effect, of substantially lessening competition in the relevant markets? Are new entrants allowed to enter and expand? Can acquirer block competitors through misuse abuse their market power, even against restrictive covenant or planning laws?

Written by: Sherry Tao Kong, ANU & Palmira Bachtiar, SMERU
http://www.eastasiaforum.org/2009/09/10/is-there-a-carrefour-monopoly-in-indonesian-retailing/