Thursday, November 15, 2007

Antara utang dan kutang

Judulnya kok eye-catching (baca: vulgar) ya! Salah-salah bisa terkena RUU APP nih! Tapi karena utang dan kutang kan sama-sama fakta hidup, harusnya mereka bisa dibahas apa adanya. Manusia, keluarga, organisasi, perusahaan, negara ... semuanya pengguna utang. Sementara itu, begitu juga perempuan (dan bencong atau transvesteit) adalah konsumen kutang. Tapi apa sih perlunya berutang dan berkutang?

Utang: perlukah?
Masih ingat cerita utang dibayar kutang ala Siti Nurbaya? Gara-gara terjerat utang, anak gadis digadaikan. Malang nian. Nenekku almarhumah bilang, orang miskin jangan berutang karena tidak mungkin bisa membayar utangnya (kecuali menang lotere!). Solusi bagi orang miskin adalah menahan hawa napsunya. Waduh, nenekku belum ketemu Muhammad Yunus, penggagasnya Grameen Bank!

Alam berpikir nenekku sangat sederhana: jauhi utang karena berutang tidak membuatmu kaya. Nenekku betul, beliau merujuk pada utang konsumsi. Orang yang berutang untuk membeli barang-barang konsumsi (makanan, baju, sepatu) akan sulit sekali membayar utangnya. Terkecuali kalau yakin bentar lagi terima gaji. Tapi utang seperti itu hanya sekedar gali lobang tutup lobang. Ia tidak bikin orang jadi kaya, malah bisa-bisa tambah miskin kalau bunganya besar. Jadi betul kata nenekku, utang konsumsi meningkatkan kepuasan tapi tidak meningkatkan pendapatan.

Namun nenekku juga salah. Sekarang ini jamannya orang berpikir, kalau bisa pakai uang orang (utang), kenapa harus pakai uang sendiri? Ya, sah-sah saja berutang kalau itu untuk investasi (seperti contoh Grameen Bank, Proyek P4K, dll). Di tingkat makro, negara berutang untuk membangun bendungan. Bendungan meningkatkan produksi pertanian. Produksi pertanian meningkatkan pendapatan rakyat. Jika pendapatan meningkat, negara bisa menarik lebih banyak pajak. Pajak itu dipakai negara untuk membayar utang dan untuk bikin investasi lain. Begitu seterusnya. Jadi dengan berutang orang bisa jadi lebih makmur.

Tapi apakah utang untuk beli makanan, pakaian dan sepatu termasuk utang konsumsi atau untuk investasi? Orang beli makanan supaya kenyang dan bisa jual tenaga. Orang yang profesinya jualan jasa harus beli baju dan sepatu supaya gayanya meyakinkan dan jualannya laku. Jadi, kadang-kadang definisi barang produktif dan konsumtif bisa kabur.

Kutang: tidak perlukah?
Pernah dengar slogan “burn your bras”? Ini slogan jaman 1960-1970an, awal kebangkitan women liberation di Amerika Serikat. Dikala itu, perempuan merasa dirinya harus dinilai dari otaknya, bukan dari penampilannya. Filsafatnya adalah kutang dianggap oleh kaum feminist kiri (sekiri-kirinya) itu sebagai kosmetik untuk mempercantik diri. Karenanya, ia adalah belenggu dan dikte terhadap perempuan.

Hanya saja, logika dibalik itu menjadi tanda tanya besar (setidaknya buat saya). Pertama, sulit membayangkan apa yang terjadi kalau betul perempuan-perempuan ke kantor tanpa kutang. Pasti, pekerjaan kantor terbengkalai karena orang (baik laki-laki maupun perempuan) akan sibuk membicarakan “penampilan” para perempuan. Kalau pekerjaan terbengkalai, kantor bangkrut dan harus PHK, siapa yang rugi? Kedua, apa iya kosmetik adalah belenggu terhadap perempuan? Bisa iya, contohnya dahulu kala di daratan China, perempuan disuruh memakai sepatu kecil sejak muda. Ini supaya kaki mereka tetap kecil. Kaki yang kecil sangat menarik karena ketika berjalan perempuan itu akan berlenggak-lenggok secara alami. Contoh lain, model baju Cinderella jaman Victoria di Eropah. Tapi itu kejadian jaman kuda gigit besi. Jaman sekarang, banyak (sekali) perempuan yang suka (sekali) pakai kosmetik, suka operasi plastik, dll. Artinya, itu keputusannya pribadi, tidak ada yang mendiktenya. Ketiga, kutang bukan hanya berfungsi untuk kecantikan tapi juga kesopanan. Kaum feminist bisa saja menuduh kutang sebagai dikte, tapi dikte untuk kesopanan bagus adanya. Sama saja dengan dikte membuka topi kalau masuk rumah orang atau dikte untuk pamit kalau mau pulang.

Masalahnya justru adalah: sekalipun untuk kesopanan, apakah kutang harus dipakai selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 365 hari setahun (hiperbolis deh!). Harusnya tidak. Apalagi konon ada hubungan antara lamanya memakai kutang setiap harinya dan resiko terkena kanker payudara. Nah lho! Mungkin ini sebabnya, perempuan Papua ga kena kanker payudara ... hehehe

Ya udah. Gitu aja. Intinya, hanya mau nulis tentang utang tapi biar seru tambahin dikit dengan cerita tentang kutang.

Salam,
mia *)
*) sedang berutang (pada Ponky dan mbak Indah)

Submitted by mia on Mon, 2006-07-10 15:26
http://www.ppigroningen.nl/node/224

Surat untuk Ibu Rita Verdonk

Groningen, 13 July 2006

Ibu Rita Verdonk yang baik,Bersama ini saya kembalikan berkas persetujuan izin tinggal teman kos saya yang bernama Agnes Ardiyanti. Mungkin ibu bertanya-tanya, mengapa dikembalikan, padahal semua pelajar asing pengen cepat-cepat punya izin tinggal. Jawabannya singkat, kasihan deh loe, kecele! Agnes sekarang sudah di Indonesia.

Sebagai informasi, selama setahun belajar di Belanda, Agnes (dan juga temannya Laura) menderita banget karena statusnya ga jelas. Ada apa sih di kantor IND, kok urusan yang sepele jadi bertele-tele? Kalau perlu tenaga tambahan, kami bersedia deh bantu-bantu. Ga masalah kok.

Tapi bukannya kantor Ibu bisa menyelesaikan urusan kewarganegaraannya Hirshi Ali dengan sangat cepat. Ooo, mungkin pakai jalan tol ya bu? Dalam ilmu ekonomi, perusahaan yang monopolist biasanya memberlakukan price discrimination. Mungkin bisa Ibu pertimbangkan untuk memakai konsep ini dalam pengadaan izin tinggal. Siapa yang bayar mahal dia dapat pelayanan yang lebih cepat. Toh, biaya ini ditanggung oleh sponsor. Jadi sama-sama untung. Pelajar untung (cepat dapat izin tinggal), IND untung (bisa dapat uang lebih banyak), dan sponsor juga untung (mereka juga bisa dapat potongan pajak). Bagus toh?

Begitu dulu surat dari saya. Pepatah bilang, kalau ada sumur di ladang … eh salah Bu. Maksud saya, kalau ada cincin patahku jangan disimpan di dalam laci, kalau ada barang salahku jangan disimpan di dalam hati. Ceileeeeeh! Dadah, Ibu …

Hormat saya,
MB,
mantan teman kosnya Agnes, yang dapat lungsuran TV, tas sepeda dan pancuran air!

Notabene:
Bu, gosipnya Agnes udah ditawarin beasiswa sandwich untuk S3 di Groningen. Kejadian ini jangan terulang lagi ya bu. Janji lhooo!

Submitted by mia on Fri, 2006-07-14 10:19.
http://www.ppigroningen.nl/node/227

Kecil dan sepele untuk semua

Beberapa tahun yang lalu, saya berkesempatan berkenalan dengan salah seorang warga pedalaman Nusa Tenggara Timur. Namanya, Vincent. Dia datang ke Jakarta untuk protes terhadap pelaksanaan salah satu proyek pertanian di NTT. Proyek ini adalah proyek penanaman jambu mete yang didanai oleh organisasi tempat saya bekerja. Jambu mete merupakan komoditi yang sangat cocok untuk wilayah kering dan tandus. Semakin kering dan tandus, semakin banyak produksinya. Aneh ya?

Menurut pengakuan Vincent, proyek jambu mete telah masuk ke wilayah adat dimana masih ada perseteruan antara warga dan pemerintah daerah. Menurut ketentuan yang berlaku, proyek tidak boleh dilaksanakan sebelum perseteruan ini selesai. Namun, nampaknya pemerintah daerah dikejar oleh target proyek dan mengambil jalan pintas: langsung menanam di wilayah itu. Jelas saja, warga marah dan terjadilah kontak fisik yang menyebabkan salah seorang warga meninggal dan lainnya luka-luka.

Kasus ini tidak pernah sampai ke Jakarta jika Vincent tidak berani datang menemui kami. Saya tidak ingin bercerita tentang bagaimana kasus ini diselesaikan. Saya ingin mengenang Vincent, sosok warga pedalaman NTT yang sangat unik.

Vincent datang ke Jakarta setelah melalui perjalanan darat dan laut selama hampir seminggu. Dia datang dengan pakaian adat, bekal uang pas-pasan. Luar biasa! Yang sungguh mengagumkan adalah seumur hidupnya dia tidak pernah memakai sendal dan sepatu. Katanya, kakinya sudah kebal panas dan dingin. Ke Jakarta, bertemu pejabat tinggi di kantor besar pun, telanjang kaki.

Saya bertanya padanya, “Pak Vincent tidak takut kaki Pak Vincent tertusuk duri?” Vincent tertawa. Katanya, “Bu, sejak kecil ayahku punya kebiasaan baik. Dia selalu menyingkirkan beling dan duri yang kebetulan ada di jalan. Menurut ayahku, kalau kita menjaga agar beling dan duri tidak melukai orang lain, maka yakinlah bahwa ada yang akan melindungi kaki kita dari beling dan duri”. Betul adanya. Ayah Vincent belum pernah terluka kakinya akibat beling dan duri. Kebiasaan itu diturunkannya kepada Vincent.

Saya tertegun. Betul juga. Membersihkan jalan dari beling dan duri adalah sesuatu yang sangat sepele. Tapi siapa yang tau itu bisa menyelamatkan hidup orang lain? Beling dan duri bisa membuat kaki luka, infeksi dan tetanus. Jadi, bisa menyebabkan kematian. Siapa yang tau jika ternyata Vincent dan ayahnya sudah menyelamatkan banyak sekali nyawa? Wallahualam!

Vincent dan ayahnya tidak pernah peduli, nyawa siapa yang mereka selamatkan. Bisa saja itu adalah nyawa musuh mereka dalam kasus tanah adat itu. Tapi itu tidak penting. Siapapun harus dibantu agar tidak terluka oleh beling dan duri. Kebaikan yang kecil dan sepele untuk semua orang inilah yang justru menyelamatkan kaki mereka. Jauh dari pedalaman NTT, saya merenung. Ah … seandainya saya bisa setulus Vincent!

http://ismailfahmi.org/wp/archives/81

Freedom of speech, perempuan dan Holocaust

Freedom of speech yang diagungkan oleh Barat memang konsep yang sulit dicari batasnya. Freedom of speech merupakan arena bebas untuk membangun opini publik yang bisa menyesatkan, apalagi jika dilontarkan oleh orang-orang terkenal, karena bisa saja opini itu sekedar “socially constructed” dan rasis. Jelas, Muslim bukan satu-satunya korban freedom of speech. Sebut saja, mereka yang berkulit hitam yang dianggap bangsa yang terbelakang dan kaum gipsi dikategorikan sebagai kaum yang hanya bisa hura-hura. Menariknya, guru bahasa Inggeris saya di British Council dulu pernah bilang bahwa orang Indonesia itu rasis. Guruku itu protes berat dengan julukan “bule” yang dianggapnya merendahkan orang kulit putih. Menurutnya, bule diasosiasikan oleh orang Indonesia sebagai bangsa yang murahan dan suka sex bebas.

Sebenarnya ada peristiwa menarik tahun lalu seputar freedom of speech. Tersebutlah seorang jenius bernama Lawrence Summer, presiden Universitas Harvard yang gaya hidupnya memang urakan dan penuh kontroversi. Dilahirkan dalam keluarga berpendidikan tinggi dengan dua orang pamannya pemenang Nobel ekonomi, Lawrence menjadi salah seorang professor termuda di Harvard. Dia pernah jadi pejabat Bank Dunia tetapi harus mengundurkan diri karena nota pribadinya yang berjudul “Let them eat pollution” bocor ke publik. Disitu dia katakan bahwa negara berkembang harusnya bisa menjadi tempat pembuangan sampah industrinya negara maju dan tidak ada salahnya Bank Dunia mendukung program itu. Tentu saja hal ini sama sekali tidak etis bagi Bank Dunia yang konon “menjunjung tinggi” etika pembangunan. Cerita tentang pribadi Bapak Summer begitu panjang dan kadang-kadang menggelikan. Mulai dari cara berpakaiannya, perceraiannya dan beberapa kisah-kisah cinta selanjutnya, sampai ke kebiasaannya berbicara dengan mulut yang penuh makanan sehingga air liurnya muncrat ke muka lawan bicaranya. Gerimis dong!

Nah, apa yang terjadi tahun lalu adalah Pak Summer dalam pidatonya melontarkan pernyataan bahwa ada perbedaan gender dalam genetik perempuan yang menjelaskan mengapa hanya sedikit perempuan berhasil di bidang sains dan matematika. Kontan pernyataan ini dianggap melecehkan perempuan dan melukai hati perempuan sedunia. Protes datang dari berbagai kalangan. Dalam arena gender, memang kental tarik menarik antara mereka yang percaya bahwa kemampuan intelektual perempuan dan laki-laki memang berbeda secara biologi dan mereka yang berpendapat bahwa perbedaan itu bukan secara biologi melainkan dalam tekanan social dan diskriminasi terhadap perempuan.

Kebetulan beberapa tahun yang lalu saya pernah mengajukan pertanyaan seputar etika kepada dosenku orang Inggris. Dalam kamus orang pembangunan tidak ada kata “malas”. Pertanyaan saya, “mengapa haram hukumnya mengatakan petani itu miskin karena malas tapi sah-sah saja untuk bilang mahasiswa itu malas karenanya tidak lulus”. Dosen saya menjelaskan bahwa petani adalah simbol orang teraniaya, jadi tidak etis untuk mengkritiknya. Padahal, kadang-kadang saya bisa lihat dengan mata kepala sendiri kemalasan petani. Atau bagaimana dengan petani di negara maju yang habis-habisan disubsidi yang berarti tidak teraniaya?

Kasus serupa, kata dosenku itu, adalah haram untuk mengatakan orang Yahudi bersalah. Bagi orang Barat, orang Yahudi sudah teraniaya, jadi tidak boleh lagi dianiaya. Padahal sebenarnya Barat juga mengakui pendudukan dan kekejaman Israel di Timur Tengah. Itu sebabnya pernyataan Presiden Iran Ahmadinejad menuai protes karena mempertanyakan kebenaran Holocaust dan karena usulnya menghapuskan negara Israel dari peta dunia. Bagi banyak kalangan Presiden Ahmadinejad sama seperti Pak Summer berhak memakai kebebasannya berekspresi.

Lalu dimana letak freedom of speech? Inti kebebasan berekspresi ada dalam pernyataan Voltaire “I might not agree with what you have to say but I will defend to death your right to say it”. Tidak ada yang boleh melarang Pak Summer atau Presiden Ahmadinejad untuk mengutarakan pendapatnya walaupun bisa jadi tidak seorangpun setuju dengan pendapat itu. Mereka yang tidak setuju dengan pendapat itu boleh protes, boleh membawanya ke pengadilan, tetapi tidak yang boleh mengancam membunuh Pak Summer atau Presiden Ahmadinejad atas pendapatnya itu.

Orang-orang besar seperti Lawrence Summer atau Presiden Ahmadinejad boleh memakai haknya dan harusnya mengetahui apa yang terjadi jika hak tersebut dipakai. With freedom of speech comes responsibility. Pertimbangan kebaikan dan keburukan penggunaan hak itulah yang cermin kebebasan berekspresi yang bertanggungjawab. Lawrence Summer harusnya tahu bahwa pendapatnya bisa dijadikan alasan untuk mendiskriminasikan perempuan. Presiden Ahmadinejad juga harusnya mengerti bahwa gerakan Anti-Semit masih hidup dan kebencian terhadap orang Yahudi masih ada. Jadi, bagaimana dengan kasus koran Jylland-Posten? Apakah koran tersebut sama haknya seperti Lawrence Summer dan Presiden Ahmadinejad? Jika iya, apakah Jylland-Posten tidak mempertimbangkan bahwa kartun tersebut hanya menambah kebencian terhadap Islam dan berarti akibat buruknya jauh lebih besar daripada kebaikannya?

Submitted by Palmira Bachtiar on Sat, 2006-02-25 10:58
http://cafe.degromiest.nl/node/257

Tit for Tat: balas-membalas tanpa ujung

Peristiwa kartun Rasulullah di Denmark membuahkan reaksi keras dari kalangan Islam. Banyak yang mengaitkan ini dengan clash of civilization. Barat yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi harus berhadapan dengan Islam yang menjunjung tinggi agama.
Kebebasan berekspresi sendiri memang sudah menjadi agama baru bagi Barat. Konon, tidak ada topic yang tabu untuk diekspresikan dan disikapi. Tapi apa betul begitu? Ah, rasanya kok tidak ya. Di Barat sangat tidak boleh lho mengolok-olok orang cacat. Padahal di lain tempat, ini tidak masalah. Buktinya, mantan presiden kita Gus Dur juga pernah diolok-olok karena cacat mata yang dideritanya.

Di lain pihak, akidah Islam bagi umat Islam adalah sempurna dan tidak tabu untuk dikomentari. Salman Rusdhi, Theo van Gough dan mungkin masih banyak lagi yang lain adalah penulis-penulis yang ekstrimis kebebasan berekspresi. Mereka sangat sinis terhadap Islam. Namun, banyak yang berpendapat bahwa fatwa mati bagi ekstrimis seperti ini hanya akan merugikan, bukannya menguntungkan, Islam. Fatwa mati sebenarnya dulu juga dipakai oleh gereja untuk melindungi diri terhadap pandangan yang berseberangan.

Tapi kalau sejarah agama Kristen di masa lalu bersimbah darah, apakah Islam juga harus mengulangnya? Sejarah berulang! Ah ... siapa bilang hanya Islam yang mengulang sejarah? Perang Vietnam juga merupakan tamparan bagi Amerika, namun ia tetap saja bersikuku mengulangnya dengan menyerbu Afghanistan dan Iraq. Sekarang lagi siap-siap cari pembenaran untuk menyerbu Iran. Apakah dalam ketidaksempurnaannya, manusia memang harus hidup dengan mengulang kesalahannya? Wallahualam.

Kembali ke topik utama. Tit for tat.

Karena tau letak sensitivitasnya, Barat yang usil senang menggelitik Islam, mengutarakan pendapat yang dianggap oleh banyak umat Islam sebagai menginjak2 kehormatan Islam.
Reaksi di beberapa negara Islam adalah aksi turun ke jalan dan merusak hak milik orang lain. Padahal bagi Barat, membakar bendera, merusak kedutaan dianggap menginjak2 kehormatannya.

Barat tahu Islam paling tidak suka agamanya dikomentari. Ini yang justru dilakukannya. Di lain pihak, umat Islam di beberapa negara tau bahwa kekerasan, anarki dan pengrusakan paling tidak disukai oleh Barat. Tapi ini yang justru dilakukan. Barat menginjak-injak kehormatan umat Islam dengan penerbitan kartun Rasulullah. Umat Islam balas menginjak-injak kehormatan Barat dengan menyerang kedutaannya. Setelah kedutaannya dibakar, Barat kembali lagi menerbitkan kartun itu. Umat Islam marah lagi dan membakar lagi kedutaan. Begitu terus-menerus. Tit for tat. Kapan kira-kira ini berakhir? Berapa dalam lagi kepedihan hati umat Islam dan berapa banyak kerusakan hak milik akibat clash of civilisation ini. Wallahualam. Kalau begini, mungkin lebih tepat untuk dikatakan sebagai clash of uncivilisation.

Wassalam,
Mia

Notabene:
Penggambaran Barat yang melukai Islam adalah Barat ekstrim yang atas nama kebebasan berekspresi tega membangun opini public yang buruk terhadap Islam. Penggambaran Islam yang atas nama kecintaan terhadap agama tega bertindak anarkis dan merusak hak milik orang lain adalah Islam yang ekstrim. Diantara kedua ekstrim tersebut, ada yang moderat. Masih banyak orang Barat yang tetap mengusung kebebasan berekspresi yang bertanggungjawab. Masih banyak juga umat Islam yang tidak setuju dengan kekerasan, pengrusakan dan pertumpahan darah. Semoga Barat yang ekstrim dan Islam yang ekstrim ini tidak banyak jumlahnya. Semoga yang banyak justru yang moderat yang bisa memotret masalah secara utuh dan adil. Dunia tempat kita berpijak ini hanya satu. Didalamnya ada 6 milyar jiwa yang begitu beragam. Semoga 6 milyar jiwa ini bisa mencari format terbaik untuk hidup berdampingan dengan damai. Amin ya Robbal alamin.

Submitted by Palmira Bachtiar on Sun, 2006-02-19 20:30
http://cafe.degromiest.nl/node/255

Menyoal empati Barat terhadap Islam

Tulisan ini terinspirasi oleh komentar mas Eko dimilis deGromiest. Sebagai Muslim, kita meminta dunia untuk empati terhadap Islam dan menghormati Islam. Tapi bagaimana cara menarik empati terhadap Islam.

Pertama-tama, harus kita sadari bahwa empati itu bukan hadiah dari Barat terhadap Islam. Ia bukan sesuatu yang kita minta hari ini dan bisa kita dapatkan keesokan harinya. Empati itu adalah perjuangan. Mungkin Allah SWT belum mengizinkan perjuangan yang mudah dan cepat. Perjuangan Islam adalah perjuangan yang panjang dan berliku, penuh duri dan onak. Berapa panjang perjuangan itu? Panjang sekali, bisa berpuluh tahun, bergenerasi. Wallahualam. Banyak analog menarik mengenai perjuangan. Apakah realistis untuk berpikir bahwa perjuangan memerangi kemiskinan itu mudah? Begitu Galiro ditelorkan, orang-orang kemudian sadar dan peduli, aktif menyumbang lalu tidak ada lagi kemiskinan di Indonesia, titik. Galiro melalui, dan akan terus melalui, jalan panjang dan berliku. Ternyata tidak mudah mencari simpati donatur. Sumbangan bulan turun naik, semangat juga turun naik. Ini baru Galiro yang kecil dan imut-imut itu. Perjuangan Islam adalah perjuangan yang besar menyangkut umat yang jumlahnya ratusan juta dengan ratusan juta masalah juga.

Kedua, perjuangan menarik empati Barat harus dilakukan dengan cara yang damai dan cerdas. Banyak yang berpikir bahwa suara umat Islam hanya bisa didengar oleh Barat jika kita menempuh cara kekerasan, mengancam membunuh, menyandera, dll. Barat baru gentar jika melihat Kedutaannya dibakar, warganya diancam dan disandera. Tapi cara seperti ini tidak akan menghasilkan empati melainkan antipati, konterproduktif terhadap Islam. Barat, dengan segenap kekuatannya, pasti akan mempersiapkan cara lain untuk menangkal Islam. Islamfobia disebarluaskan, peraturan negara dibuat sedemikian sehingga menghambat akses bagi orang Islam, mungkin juga beasiswa untuk negara Islam dialihkan ke negara Afrika, China, dll. Pada akhirnya isolasi terhadap Islam justru memperlebar jurang terhadap Islam dan Barat. Perjuangan mencari empati terhadap Islam makin panjang dan makin berliku. Ibaratnya Galiro, cara menggalang sumbangan bukan dengan mencuri sepeda. Kita tau bahwa tujuan yang mulia tidak boleh ternoda oleh cara yang tidak mulia. Kata mas Eko, Rasulullah adalah sebuah kemulian. Kalau bisa saya tambahkan, kemuliaan Rasulullah dan Islam yang mulia itu harus dibela dengan cara yang mulia. Mudah-mudahan kita sepakat bahwa cara kekerasan dan mengancam membunuh bukanlah cara yang mulia.

Ketiga, it takes two to tango. Baik Islam dan maupun Barat harus sama-sama toleran dan membuka diri untuk dialog dan berdiplomasi. Kedua pihak harus mau mengerti persoalan keduanya. Empati hanya bisa didapat dari empati. Jika Islam ingin Barat empati, Islam juga harus empati terhadap Barat. Tidak adil jika nilai-nilai kebebasan dipaksakan kepada Islam. Tetapi tidak adil juga memaksa Barat yang lebih duluan menjadi modern untuk bersikap seperti orang Islam. Bagi Barat yang occidentalist, akal manusia ada diatas agama. Bagi Islam tidak demikian. Barat tidak boleh Islamphobia, tetapi Islam juga tidak boleh Westernphobia. Siapa yang harus memulai ini, siapa yang harus mengajak bertango? Kalau Barat tidak mau, Islam juga bisa memulainya.

Mungkin ini saat yang tepat untuk memikirkan cara terbaik untuk mencari empati Barat terhadap Islam. Mungkin berbuat baik terhadap non-Muslim juga bisa jadi cara yang efektif. Ini juga saat yang tepat untuk menunjukkan bahwa Islam tidak menyetujui cara kekerasan dalam perjuangannya. Tidak ada persoalan tanpa solusi, tidak ada solusi tanpa komunikasi. Tapi walaupun solusi itu tidak cepat dan komunikasi itu tidak mudah, kita tidak putus asa. Amin ya Robbal Alamin

Submitted by Palmira Bachtiar on Thu, 2006-02-09 12:43
http://cafe.degromiest.nl/node/249

Mengerti dan dimengerti oleh orang lain

Tulisan ini dibuat karena ingin menanggapi komentar mbak Uyung terhadap tulisan mas Teguh. Mbak Uyung sungguh heran mengapa teman biologist nya tidak percaya Tuhan. Saya merasa teman biologist itu juga merasa heran mengapa mbak Uyung percaya Tuhan dan memakai jilbab, 5 x sehari sholat serta 30 hari puasa menahan lapar, haus dan segala nafsu. Ada teman saya yang pernah bilang begitu. ?Kenapa sih perempuan Islam harus menyembunyikan rambutnya yang indah dan tubuhnya yang molek?? Saya bilang padanya, ?kalau kamu dilahirkan di Indonesia, dalam tradisi keluarga yang agama Islam yang ketat dan dengan pengalaman keagamaan yang sungguh romantis, saya yakin kamu saat ini sedang berjilbab?

Seandainya teman biologist itu diletakkan dalam konteks mbak Uyung, mengalami sejarah dan pengalaman hidup seperti mbak Uyung, sangat mungkin dia tidak mempertanyakan lagi keberadaan Tuhan. Di lain pihak, jika mbak Uyung lahir dan dibesarkan dalam keluarga teman biologist itu, sangat mungkin juga saat ini pertanyaan tentang Tuhan timbul dalam diri mbak Uyung. Wallahualam.Ada cerita lain lagi. Tanteku sudah sejak lama tinggal di Belanda dan bersuamikan orang Belanda. Saudaraku, anak2 tanteku itu, sudah punya anak2 tapi mereka belum menikah, hanya samen leven saja. Kata tanteku, ?Tolong jangan menilai mereka dari sudut pandang orang Indonesia. Mereka lahir dan dibesarkan di sini, jadi wajar jika nilai2 yang dianutnya adalah nilai2 di sini.? Saya pikir, betul juga. Mungkin seandainya saya lahir dan dibesarkan di Belanda dalam tradisi Belanda, sangat mungkin saat ini saya ga beda dengan saudaraku itu, samen leven dan tidak beragama. Wallahualam.

Kata temanku orang Arab, ada pepatah Arab yang bunyinya begini: kata2mu akan berbeda jika tanganmu ada dalam air panas. Artinya, hanya sebagian kecil saja dari tubuh kita ada dalam kondisi yang berbeda, persepsi kita sudah berbeda ... apalagi jika seluruh tubuh kita diletakkan dalam kondisi yang jauh berbeda dengan kondisi sekarang.

Kadang2 renunganku menjadi lebih panjang. Seandainya saya terlahir nun di Afghanistan sana, sangat mungkin saat ini saya sedang memakai burka, buta huruf, atau sedang dalam kamp pelatihan Al Qaeda ... hehehe bad luck!.... (footnote: asumsi Al Qaeda betul berada di Afghanistan!). Kedengarannya lucu tapi hanya dengan menempatkan diri dalam konteks itu, saya mengerti mengapa ada orang yang kemudian memilih menjadi teroris. Dia dibesarkan dalam tradisi yang sangat ekstrim, dicuci otak, diberi iming2 mati syahid dan langsung masuk surga. Buatnya, mati sekarang jauh lebih baik daripada mati sepuluh atau dua puluh tahun lagi ... toh dia tidak punya apa2 di dunia ini. Tidak ada pekerjaan, tidak ada jabatan, tidak ada uang ... hanya kemiskinan. Lalu, mengapa harus menunda mati dan masuk surga? Hai dunia, tolong mengertilah dia.

Tapi kemudian, bagaimana jika saya terlahir sebagai orang Yahudi? Aduh amit2 jabang bayi ?. sungguh ngeri membayangkan diriku dibenci oleh seluruh umat Islam. Tapi seandainya saya lahir sebagai orang Palestina, saya pun akan sangat benci orang Yahudi karena mereka menyerobot tanahku. Ah ? akhirnya saya memang harus bersyukur tidak terlahir seperti itu.

Perenunganku sampai pada kesimpulan: sangat sulit untuk menilai seseorang tanpa melihat sejarah dan pengalaman hidupnya. Sejarah dan pengalaman hidup kita saat ini menjadi jauh lebih kompleks dibandingkan beberapa abad yang lalu karena pesatnya perkembangan teknologi informasi, transportasi dan telekomunikasi. Siapa tahu suatu waktu nanti, teman biologist itu bertemu seorang Muslim di internet dan menikah dengannya dan kemudian percaya kepada Tuhan? Kenapa tidak? Zaman yang cepat berubah menuntut kita lebih banyak mengerti orang lain. Insya Allah orang lain juga akan mengerti kita. Amin.

Submitted by Redaksi on Fri, 2005-10-28 00:00
http://cafe.degromiest.nl/node/221

Ora et labora

Mungkin slogan berbahasa Latin dan Yunani ini bukanlah hal yang popular bagi kaum muslim. Mungkin juga banyak kaum muslim yang agak alergi dengan hal2 berbau Nasrani atau Kristiani. Tapi izinkanlah saya tetap menulis pendapatku tentang makna slogan ini.

Saya ingin memulainya dengan pendapat tentang kehidupan. Ada dua kehidupan. Kehidupan sebelum mati dan kehidupan sesudah mati. Yang pertama adalah hidup di dunia fana yang kita semua sedang jalani, sementara yang terakhir adalah kehidupan abadi bersamaNya. Tentu saja yang terakhir itu hanya dipercayai oleh mereka yang beragama, yang percaya pada Allah S.W.T.: bahwa padaNyalah kita semua akan kembali, dan bahwa dimana dan bagaimana kita sesudah mati tergantung pada bagaimana kita sebelum mati.Mana diantara kedua kehidupan itu yang lebih penting? Bagi yang beragama, jawabnya tentu kehidupan abadi itu. Saya ingat udztadku. Katanya, Rasulullah bersabda: hidup ini adalah jembatan menuju ke hidup sesudahnya. Maka janganlah kalian membangun istana di atas jembatan itu. Nanti lupa akan tujuan akhir itu. Sabda ini merupakan peringatan untuk tidak terbuai oleh hiasan2 dunia sehingga lupa akan akhirat.

Namun dilain kesempatan sang udztad juga berkata. Rasulullah bersabda, janganlah kalian menjadi miskin karena miskin itu mendekatkanmu dengan kekufuran. Tentu saja makna miskin menjadi sangat relatif. Tapi mari kita tidak berdebat mengenai ukuran akuratnya, melainkan sepakat bahwa yang dimaksud miskin disini adalah mereka yang tidak bisa hidup laik sehingga imannya dengan mudah tertukar oleh sebungkus mie siap saji, misalnya.

Bagi saya kedua sabda itu mengisyaratkan adanya keseimbangan antara dua kehidupan. Betul, akhirat adalah tujuan kita. Tapi dalam mencapai tujuan akhirat, kita masih dihadang oleh kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan. Artinya tujuan hidup sesudah mati (dalam konteks abad 21) makin diperberat oleh tugas2 dalam kehidupan sebelum mati.

Bagaimana mencari keseimbangan itu?

Dulu bekerja keras, sekarang bekerja keras dan bekerja cerdas. Khas kapitalis? Tidak apa2. Toh kapital itu ada macam2, bukan hanya finansial kapital tapi juga human capital, social capital, natural capital, physical capital. Jadi maknanya memang luas.
Dulu bekerja sendiri-sendiri, sekarang harus bekerjasama. Ibaratnya sapu lidi. Satu batang sapu lidi mungkin tidak ada gunanya. Tapi satu ikat sapu lidi, halaman rumahpun jadi bersih. Jadi, mari bekerja cerdas bersama2.

Kembali ke ora et labora, berdoa dan bekerja. Bagi saya, iman kita dan keyakinan kita terhadap kehidupan sesudah mati harus lebih dimaknai oleh kerja keras dan kerja cerdas secara bersama2 dalam kehidupan sebelum mati. Mari bekerja memerangi kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan sekarang juga. Insya Allah hal ini akan mendekatkan kita kepadaNya. Amin.

Submitted by Redaksi on Thu, 2005-10-27 03:07.
http://cafe.degromiest.nl/node/219

Wup Holland wup!

Senin, 26 Juli 2006. Mendung, kelabu dan hujan rintik-rintik menyelimuti seluruh Belanda. Suasana yang pas untuk menemani rasa duka citanya warga Belanda karena kekalahan tim mereka di Jerman.


Jauh-jauh hari sebelumnya, di lingkungan rumah (kos) kami yang nun jauh di Beijum sana, banyak warga yang begitu setia memberi dukungan moral bagi tim kesayangan mereka. Panji-panji jingga berkibar dengan megah. Foto besar tim oranye dipajang di jendela kamar. Semangat banget deh! Bisa dimengerti jika suasana Senin pagi itu menjadi begitu kelam.


Wuppie (World Unique Product Promotion Identity and Emotion)

Dukungan moral juga datang dari supermarket Albert Heijn. Ia membagikan logo Wuppie, logo oranye yang imut banget. Kakinya besar, tidak berbadan tapi hanya berkepala bulat dari bulu wol, dua mata dan dua antena. Wup Holland wup adalah plesetannya Hup Holland Hup (Go Holland Go) yang jadi slogannya Mc Donald Belanda. Saya sempat bertanya-tanya, kenapa namanya Wuppie dan bukan Huppie.


Wuppie ada dalam ukuran besar (mega wuppie) tetapi yang diberikan gratis kepada pelanggan Albert Heijn adalah wuppie kecil. Konon wuppie ukuran besar sangat digemari orang Belanda sampai-sampai mobil terparkir di depan rumah dicongkel orang, hanya untuk mengambil wuppie nya. Barang-barang berharga lain malah utuh, tak disentuh.


Rejeki nomplok di hari duka

Sudah berminggu-minggu saya selalu berharap dapat wuppie dari Albert Heijn tapi belum pernah kesampaian. Mau minta, tapi kok minder wardig ya! Tau diri dong, masak yang dibeli selalu hanya produk Euroshop yang murah meriah, kok pede minta Wuppie! Walhasil, hanya bisa ngiler aja. Aduh, nelangsa tenan sih!


Senin pagi itu saya belanja ke Albert Heijn. Masih dalam suasana berkabung, dimana-mana ketemu orang Belanda yang wajahnya muram durja. Tapi sungguh tidak disangka-sangka, kasirnya Albert Heijn kelihatan gembira aja. Dia tidak bertanya lagi dan langsung memberi 2 buah wuppie. Padahal pelanggan di depan saya, ditanya dulu dan (anehnya) dia tidak mau diberi wuppie.


Mungkin kasir itu jelas melihat ada air liur mengalir di ujung bibirku. Mungkin juga kebijakan perusahaan ingin cepat menghabiskan wuppie. Toh tim kesayangan mereka sudah mulai mengepak barang untuk pulang kandang. Atau mungkin kasir itu keturunan Portugal, atau kawin dengan orang Portugal, atau menang taruhan karena belain Portugal.


Ah! Saya tidak peduli alasannya, yang pasti hari Senin itu hari gembira. Dapat boneka wuppie kenang-kenangan WK 2006 tanpa harus mencongkel mobil orang … hehehe!


Salam,

mb (mia bachtiar) yang mb (memble banget)

bukan mb (michael ballack) yang mb (main bola)

em be rrr!!!

Submitted by mia on Mon, 2006-06-26 13:26
http://www.ppigroningen.nl/node/211

Politik Makanan, Politiknya Orang Indonesia

Orang Barat bilang, "katakanlah dengan bunga". Orang Indonesia bilang, "katakanlah dengan makanan". Ada pengalaman menarik bagaimana makanan bisa jadi alat untuk melunakkan hati orang Belanda.

Alkisah, saya dan suami menempati kamar baru di Groningen, Belanda Utara. Kamar ini kami dapat dari penawaran di internet. Mahasiswi, pemilik kamar tersebut hendak berlibur di awal bulan Juli dan sepulang berlibur langsung menempati apartemen baru. Rupanya, kontrak kamarnya berakhir akhir bulan Agustus, jadi ia ingin mencari pengganti untuk meneruskan dua bulan sisa kontraknya.

Karena cocok dengan kamar tersebut, kami setuju membayar dua bulan sisa kontrak pada si mahasiswi Belanda itu. Adapun untuk kelanjutannya, kami harus berhubungan langsung dengan huisbaas (yang menyewakan kamar). Kami diyakinkan olehnya bahwa tidak ada biaya makelaar untuk urusan kamar ini. Si huisbaas hanya akan meminta kami membayar deposit sebesar satu bulan sewa kamar. Deposit itu akan dikembalikan jika ternyata tidak ada kerusakan kamar pada waktu kami berhenti menyewanya.

Setelah menempati kamar itu satu bulan, kami mendadak didatangi oleh si huisbaas. Katanya, selain biaya kamar dan deposit, dia juga akan mengenakan biaya kontrak sebesar €100. Itu adalah biaya penandatanganan kontrak, begitu katanya. Tentu saja kami terkejut karena €100 itu besar jumlahnya. Juga, biaya itu sama sekali tidak ada dasarnya karena sebenarnya kami hanya meneruskan sewa kamar si mahasiswi itu. Namun pada saat itu kami manut-manut aja dan bikin janji untuk penandatanganan kontrak.

Sebelum penandatanganan kontrak itu, kami mencari informasi dari tetangga kamar kami. Tak satupun di antara mereka yang membayar biaya kontrak. Jadi memang si huisbaas itu saja yang "nakal". Maklum kami satu-satunya penghuni non-Belanda di rumah itu. Namun, ada satu masalah. Kami sangat khawatir jika pada saat bernegosiasi terjadi gontok-gontokan yang berakhir dengan pengusiran. Artinya, karena si huisbaas bisa saja bilang, "oke, kalau kalian tidak mau bayar €100, silakan keluar dari sini". Apalagi, memang kami belum punya kontrak dengannya. Wah, mimpi buruk!

Kata orang: "opposite attracts". Jauh lebih baik jika perempuan yang bernegosiasi dengan si huisbaas. Kalau suamiku, kemungkinan besar keduanya sama-sama keras akhirnya tidak ada win-win solution. Walhasil, saya dan salah seorang teman Belandaku yang juga perempuan akan menghadapi si huisbaas. Kami akan sampaikan baik-baik mengapa biaya kontrak €100 itu kami anggap tidak masuk akal. Kalau perlu, ditawar aja. Supaya proses tawar-menawar lancar dan agak santai, harus juga ada makanan.

Pisang goreng dan bakwan
Begitulah, saat penandatanganan kontrak, saya dan temanku itu menata meja yang di atasnya tersedia banyak sekali pisang goreng (konon orang Belanda suka sekali makan pisang goreng) dan bakwan sayur. Begitu masuk kamar, si huisbaas agak kaget melihat banyak cemilan di situ. Kami ngobrol-ngobrol dan minum teh dan kopi. Betul perkiraanku, dia suka sekali makan pisang goreng dan bakwan. Saya bilang padanya bahwa dalam budaya Indonesia, biasanya tamu pulang bawa oleh-oleh. Ini supaya keluarga di rumah juga kebagian makanan. Tampaknya dia terkesan. Saya juga mengajak dia ikut makan malam namun katanya masih ada urusan lain, urusan kontrak juga. Si huisbaas ini rupanya mengelola 300 kamar kos-kosan di Groningen. Ccckkk … luar biasa.

Obrolan berlanjut. Saya bilang bahwa perabotan kamar ini milik mahasiswi Belanda yang sedang berlibur itu. Sepulang berlibur, dia akan mengambilnya. Si huisbaas bertanya ke mana akan membeli perabotan pengganti. Saya bilang, "apa lagi kalau bukan Mamamini". Mamamini adalah toko loak favorit mahasiswa di Groningen.

Akhirnya kami sampai pada urusan kontrak. Kontrak itu kami baca sama-sama. Tidak ada kejanggalan di situ. Saya menandatanganinya dan pembayarannya bisa ditarik langsung oleh huisbaas dari rekening suamiku. Lalu kata si huisbaas, "mengenai pembayaran biaya kontrak €100 itu yang saya sampaikan sebelumnya, hmm… itu dipakai saja untuk membeli perabotan di Mamamini". Waduh, senangnya setengah mati. Saya berterima kasih dan segera membungkuskan pisang goreng dan bakwan sebanyak-banyaknya untuk dibawanya pulang.

Rupanya huisbaas itu sama sekali tidak menyangka akan diperlakukan dengan sangat ramah. Karenanya, ia merasa malu jika masih harus memaksa kami membayar €100. Saya dan temanku merasa sangat bahagia karena kami tidak perlu berdebat, cukup menyuguhkan pisang goreng dan bakwan. Bagi orang Indonesia, banyak sekali masalah yang bisa diselesaikan dengan makanan.

http://www.ranesi.nl/tema/belanda/pengalaman_di_belanda050826/politik_makanan_060925

Koninginnedag di Groningen

Hari Minggu biasanya dipakai untuk beristirahat. Hari Minggu yang dingin dengan hujan yang deras sangat cocok bagi warga Groningen untuk melepas lelah. Apalagi sehari sebelumnya tenaga terkuras untuk merayakan Koninginnedag, berpesta pora sampai pagi. Tapi ada beberapa pelajar Indonesia yang juga merayakan Koninginnedag 30 April lalu dengan caranya sendiri. Semalam suntuk mempersiapkan makanan untuk umat yang menghadiri ibadah di Gereja Martini.


Kerjasama dengan pihak Pastoraat

Kegiatan di Gereja Martini itu adalah inisiatif beberapa pelajar Indonesia dengan pihak Groningen Studenten Pastoraat (GSP) yang dikoordinasikan oleh Bapak Jaap Beintama. Pak Bein, begitu panggilan akrabnya, pernah bekerja di Universitas Padjajaran dan sampai saat ini masih peduli dengan Indonesia. Pada bulan Februari yang lalu, Pak Bein mengadakan orasi di Gereja Martini untuk mengumpulkan dana untuk Pesantren Misykatul Anwar, Cimahi, Jawa Barat. Terkumpul 200 Euro untuk disumbangkan ke Cimahi. Bukan jumlahnya, tetapi kepedulian Pak Bein dan umat Gereja Martini itu patut dihargai.
Permintaan sumbangan dari JombangSebagai tanda terima kasih, beberapa pelajar ingin membuat penganan khas Indonesia untuk umat di gereja tersebut. Setelah beberapa kali berkomunikasi, diputuskan untuk mengadakan acara makan-makan setelah misa pada tanggal 30 April 2006.


Selama persiapan berlangsung, ada salah seorang alumni pelajar Groningen yang mengirim permintaan sumbangan ke PPI Groningen. Dialah Bahrul Fuad, biasa dipanggil Cak Fu, sekarang bekerja di Universitas Surabaya. Sumbangan ini untuk biaya pendidikan dua orang anak SD yang cacat - Sita dan Eni - di Jombang, Jawa Timur. Sita dan Eni kakak beradik yang cerdas namun terancam tidak bisa melanjutkan sekolah karena kesulitan biaya. Cak Fu sendiri cukup dikenal semasa bersekolah di Groningen karena aktif di berbagai kegiatan, meskipun harus berjalan di atas kursi roda.


Makan-makan dan menyumbang

Permintaan sumbangan ini kemudian dikoordinasikan lagi dengan Pak Bein dan pihak GSP. Akhirnya disepakati untuk menyediakan makanan kecil untuk 200 orang. Makanan akan disiapkan berikut brosur kecil tentang Sita dan Eni di Surabaya. Sambil menikmati penganan khas Indonesia, umat di Gereja itu juga diimbau untuk meringankan beban orang tua Sita dan Eni.


Bukan itu saja, Pak Bein juga punya usul lain. Jika kebetulan ada kelebihan makanan, maka itu akan diantar ke rumah bagi para gelandangan (daklozen) yang namanya Ommerlanderhuis. Klop sudah! Wujud terima kasih ini kemudian bisa jadi berkah bukan hanya bagi orang Indonesia dan Belanda yang ada di gereja Martini tetapi juga bagi Sita dan Eni di Jombang, serta para gelandangan di Belanda.


Lancar dan memuaskan

Jamuan makan disambut sangat hangat oleh orang Belanda. Tidak biasanya, sesudah misa ada berbagai makanan, apalagi ini adalah makanan khas buatan pelajar Indonesia. Keluarga Harry dan Mia membuat pisang goreng resep Belanda (pakai keju, susu dan kismis) dan lemper ayam, keluarga Ismail dan Agnes bikin peyek kacang, dan keluarga Patrick dan Opi mempersiapkan martabak asin. Hm ... enak!


Misa di hari Minggu itu hanya dihadiri sekitar 70 orang, jadi banyak sekali kelebihan makanan. Sebagian dibawa pulang oleh umat dan sebagian lagi diantarkan langsung ke Ommerlanderhuis yang kebetulan letaknya dekat Gereja Martini. Sumbangan yang terkumpul dihitung bersama. Jumlahnya, 200 Euro dan 1 sen. Kata Pak Bein, 1 sen itu adalah bonus dari Tuhan.

Itulah salah satu cara merayakan Koninginnendag di Groningen. Mudah-mudahan bisa menjadi kunci kecil yang membuka pintu besar persahabatan Indonesia dan Belanda.

http://www.ranesi.nl/tema/belanda/pengalaman_di_belanda050826/koninginnedag_groningen060626

Kiat-kiat Berbelanja di Open Markt

Di Groningen, tempat belanja bahan makanan paling lengkap dan murah adalah di open markt. Bukan hanya warga Groningen tetapi juga orang Jerman di sekitarnya datang ke Groningen pada hari pasar setiap Selasa, Jumat dan Sabtu. Karena kelengkapannya dan keramaiannya, tidak heran kalau open markt juga jadi tempat rekreasi gratis bagi mahasiswa/i yang lelah dengan urusan akademik. Aneka sayuran, buah, bunga, daging, dan ikan digelar di situ. Bikin mata jadi lebih segar.

Lain lubuk lain belalangnya, begitu kata pepatah. Pengalaman dulu di Wageningen menunjukkan bahwa waktu belanja paling murah adalah sekitar jam setengah lima sore. Menjelang tutup pasar, banyak pedagang yang membanting harga sayuran dan buahnya. Tapi di Groningen, rumus ini tidak berlaku karena tidak ada jam banting harga. Malahan, menjelang jam lima sore, pedagang sudah ogah-ogahan melayani pembeli. Mungkin sudah cape seharian bekerja.

Datang paling pagi
Sangat dianjurkan untuk belanja di Groningen sepagi mungkin. Tiba di pasar lebih pagi memungkinkan kita untuk melakukan survey harga dulu: berjalan mengelilingi kios-kios sambil menghafal harga. Ini hanya menyenangkan kalau pasar masih sepi dan tidak berdesak-desakan. Jadi, survey harganya bisa lebih cepat. Survey harga perlu karena kadang-kadang kios satu menawarkan jeruk lebih murah, tetapi tomat lebih mahal. Dengan mengetahui situasi pasar, kita bisa membeli produk yang termurah dari tiap-tiap kios. Konon, ini pekerjaan yang paling menyenangkan bagi perempuan! Entah mengapa, ada kepuasan batin luar biasa kalau saja bisa belanja 20 sen lebih murah. Rasanya seperti menang lotere!

Selain itu, ketika pasar masih sepi di pagi hari, kita masih bisa leluasa berjalan di antara kios-kios sambil menuntun sepeda. Jadi, belanjaan bisa langsung disimpan di tas sepeda. Ini sangat menghemat tenaga. Tentu saja ketika sudah ramai, sepeda harus diparkir di luar pasar dan barang belanjaan harus dijinjing sendiri. Aduh, cape ya.

Belanja ikan
Yang paling nyata berbeda adalah berbelanja ikan. Ikan yang dijual pagi hari masih sangat segar. Sebaliknya, semakin siang semakin mungkin kebagian ikan yang matanya sudah merah atau lembek dagingnya. Sssttt … kalau kebetulan beruntung ketemu dengan pedagang ikan yang baik hati, bisa juga kebagian kepala ikan gratis. Pernah sekali, saya membeli cumi-cumi dan sebelum membayar saya bertanya berapa harga kepala ikan. Kata pedagangnya, itu gratis silakan ambil saja. Waduh, senang betul! Kepala ikan enak dibikin sup atau dimasak kari dengan santan kental dan bumbu-bumbu.

Box telur jadi telur
Jangan membuang box telur ayam. Kumpulkan 10 buah box telur dan bawa ke open markt. Pedagang telur akan mengganti 10 box telur itu dengan 10 butir telur ayam. Menyenangkan kan? Selain mengurangi sampah kertas dan berarti peduli dengan hutan dan lingkungan, ada bonus juga 10 butir telur. Tapi kalau kebetulan hanya membawa 1 atau 2 box telur, pedagang telur hanya tersenyum manis menerimanya. Tidak ada imbalan lain selain kata "dank u well!" Jadi, sabar saja menyimpan box itu sampai berjumlah 10 buah.

Selalu minta dibungkus
Ada juga pengalaman berharga dari open markt. Satu-satunya yang tidak menyenangkan adalah terlalu banyak plastik kresek. Tiap belanjaan ada plastiknya. Satu waktu saya hanya harus membeli daun bawang dari satu kios. Ketika hendak dibungkus, saya tolak karena daun bawang bisa dijinjing begitu saja. Tiba-tiba saya teringat harus membeli jahe di kios lain. Ketika hendak membayar jahe itu, pedagangnya mengira saya mengambil daun bawang dari kiosnya. Saya tegaskan bahwa daun bawang itu saya beli dari kios lain. Dia mengira saya berbohong karena daun bawang itu tidak dibungkus plastik. Jadi, wajar jika dia cemberut. Tapi di lain pihak, saya juga ngotot karena memang itu bukan daun bawangnya. Kesimpulannya, jauh lebih baik boros kantong plastik daripada disangka maling.

Itulah kiat berbelanja di open markt Groningen. Memang belanja di supermarket lebih nyaman dan fleksibel dari segi waktu. Tapi belanja di open markt lebih banyak seninya: lebih banyak kontak dengan orang Belanda dan bisa ketemu banyak teman orang Indonesia di situ.

http://www.ranesi.nl/tema/belanda/pengalaman_di_belanda050826/berbelanja_open_markt060823

Wednesday, November 14, 2007

Batavia yang Bukan Jakarta

Sepintas tertulis di milis PPI Groningen: Acara Wings-Esn adalah kunjungan ke taman Batavia di Lelystad. Begitu melihat kata Batavia langsung terlintas wajah Jakarta tempoe doeloe. Pasti menyenangkan berkunjung ke taman Batavia pada waktu lagi kangen tanah air. Tanpa membaca lebih rinci lagi saya dan suamiku mendaftar untuk ikut acara jalan-jalan yang diadakan oleh Wings-Esn. Wings-Esn adalah organisasi mahasiswa yang salah satu tujuannya mengatur kegiatan sosial budaya bagi mahasiswa internasional di Universitas Groningen.


Bukan Jakarta

Hanya setelah berada di lokasi barulah kami mengerti bahwa replika Batavia di Lelystad adalah replika kapal VOC dan bukan replika kota Batavia. Batavia adalah salah satu kapal VOC yang dibuat di Amsterdam. Pada tahun 1628 kapal itu berangkat pertama kalinya ke Timur Jauh untuk mengantar para prajurit Belanda, penumpang serta mengumpulkan rempah-rempah dari Indonesia. Perjalanan dari Eropa mengitari benua Afrika dan Tanjung Pengharapan di Afrika Selatan yang terkenal itu. Malang tak dapat ditolak, kapal Batavia yang mengangkut sekitar 350 orang itu tidak pernah mendarat di kota Batavia karena karam di perairan Barat Australia pada tahun 1629.


Politik di dalam kapal Batavia

Ada tiga tokoh yang berpengaruh di kapal Batavia: (i) Komodor Francesco Pelsaert, pejabat senior yang diutus oleh para pedagang rempah-rempah di Amsterdam; (ii) Kapten Adriaan Jakobszoon yang trampil dalam hal keteknisan kapal; dan (iii) pedagang bangkrut bernama Jeronimous Corneliszoon yang melarikan diri dari Belanda karena ide-idenya yang bertentangan dengan gereja.


Meskipun terkenal sebagai kapten yang trampil, tapi Adriaan Jakobszoon punya satu kelemahan: dia sangat suka perempuan. Di kapal itu juga ada seorang perempuan cantik bernama Lucretia Jans yang terang-terangan menolak cinta sang kapten karena ia berlayar ke Batavia untuk bertemu dengan calon suaminya di sana. Sementara itu sang kapten dan sang komodor sendiri nampaknya sudah tidak saling suka satu sama lain dari perjalanan-perjalanan sebelumnya. Kini mereka harus berada dalam satu kapal. Alangkah sulitnya.


Replica Kapal VOC BataviaMencari pertolongan ke Batavia dan pembantaian penumpangKetika pada akhirnya kapal Batavia karam di pantai Barat Australia dan 40 orang penumpangnya tenggelam, para penumpang yang selamat berhasil mencapai satu pulau karang yang ternyata tidak punya sumber air. Akhirnya, sang komodor dan kapten bersama beberapa orang anak buahnya berangkat dengan sekoci ke kota Batavia untuk mencari pertolongan. Perjalanan itu memakan waktu satu bulan.


Sementara itu, Jerenimous Corneliszoon yang masih berada di pulau itu serasa menjadi raja dari para penumpang dan dengan bebas ia menerapkan ide-idenya yang terlarang di Belanda. Dia dan anak buahnya membantai sekitar 125 orang penumpang dengan semena-mena. Di kerajaannya itu, dialah yang menjadi “Tuhan” dan menentukan nasib setiap penumpang. Beberapa prajurit berhasil meloloskan diri dari kekejaman Corneliuszoon dan berlayar ke pulau karang lain. Baru setelah dua bulan kemudian, komodor datang dan menyelamatkan para penumpang di pulau itu. Corneliszoon sendiri digantung atas semua kejahatannya.


Replika kapal Batavia

Saat ini sebagian dari kapal Batavia asli yang masih bisa diangkut keluar dari air tersimpan di museum Geraldton Maritim di Australia. Sementara itu, pada tahun 1985 sebuah proyek yang bertujuan membangun replika kapal Batavia dimulai di Lelystad, Belanda.
Ide pembuatan replika ini datang dari seorang ahli kapal tradisional bernama Willem Vos yang sudah sejak lama memimpikan ingin membangun replika kapal perdagangan abad ke 17. Mimpinya ini kemudian bisa terwujud setelah secara tidak sengaja beberapa ahli purbakala Australia mempersiapkan pengangkutan kapal Batavia ke museum maritim Australia. Mulailah proyek itu dicanangkan dan Willem Vos yang reputasinya bagus bisa meyakinkan banyak pihak untuk ikut membiayai proyek ini.


Proyek besar ini melibatkan 200 orang yang ahli dalam pembuatan kapal. Kapal Batavia ditiru persis dengan aslinya, termasuk juga replika sekoci yang membawa komodor Pelsaert ke kota Batavia. Pada tahun 1995 replika Batavia diresmikan oleh Ratu Beatrix.
Replika kapal Batavia sungguh menakjubkan. Tidak heran jika pembuatannya memakan waktu 10 tahun. Namun yang justru mengherankan adalah kapal Batavia yang asli sendiri bisa diselesaikan dalam waktu 1 tahun berkat keahlian dan ketersediaan bahan baku yang memadai. Ini merupakan bukti banyaknya keahlian jaman dahulu yang tidak dimiliki manusia abad modern.


Replika perahu pinisi?

Sepulang dari kunjungan ke Taman Batavia di Lelystad itu, saya bertanya-tanya. Bagaimana dengan Indonesia yang juga punya perahu pinisi dan sejak dulu kala adalah penjelajah samudra sampai ke Madagaskar? Kapan Indonesia punya profil seperti Willem Vos yang bisa mewujudkan kenangan tentang kejayaan masa lalu untuk ditonton oleh generasi masa kini?

http://www.ranesi.nl/zonapelajar/11294617/batavia_bukan_jkt060414

Makna Sebuah Kartu Natal

Beberapa saat menjelang Natal tahun lalu kami tiba-tiba punya ide cemerlang untuk berkenalan secara tidak langsung. Caranya adalah dengan mengirim kartu Natal. Kami sepakat untuk membeli sepuluh kartu Natal dan menuli skan nama-nama kami dan negara asal kami.


Gezellig

Aku dan suamiku indekos di Beijum, sebelah Utara Groningen. Kami menyewa kamar dari keseluruhan satu rumah khusus untuk kos-kosan mahasiswa. Selain kami, ada juga teman orang Indonesia dan seorang Afrika yang menyewa kamar di rumah itu.


Rumah kos kami itu terletak di kawasan perumahan orang-orang Belanda, yang umumnya terdiri dari keluarga muda. Hanya rumah kami satu-satunya rumah yang penghuninya kulit berwarna. Kebetulan kami adalah penghuni pertama rumah kos itu. Sebelum kami, penghuninya adalah orang Belanda yang kemudian menjual rumah itu kepada orang Vietnam, bapak kos kami. Tapi bapak kos kami tidak tinggal bersama kami. Dia punya rumah sendiri di Groningen.


Tinggal di Beijum sangat menyenangkan walaupun jaraknya dari kampus cukup jauh. Suasananya aman dan bernuansa pedesaan. Pertokoan juga dekat dengan rumah kami. Gezellig, begitu ungkapan bahasa Belandanya. Artinya, nyaman.


Tak Punya Waktu

Satu-satunya yang mengganjal adalah kami belum mengenal tetangga-tetangga kami. Karena kesibukan kuliah, hubungan kami dengan tetangga hanya sebatas “ hoi, hai, hallo, morgen ” ketika berpapasan di jalan. Bagi kami, sulit sekali mencari waktu yang tepat untuk memperkenalkan diri dan memulai hubungan yang lebih akrab. Baik kami maupun tetangga-tetangga kami sama-sama sibuk. Tapi sebagai orang Indonesia risih juga rasanya. Masa’ sudah tinggal di daerah itu berbulan-bulan tapi belum kenal dengan tetangga. Keterlaluan kan? Padahal kata orang bijak, tetangga adalah keluarga terdekat.


Walaupun sering bertemu pandang dan saling tersenyum, saya yakin mereka pasti bertanya-tanya siapa gerangan orang-orang berkulit berwarna ini. Dalam lingkungan serba Belanda, kehadiran orang kulit berwarna tentu cukup mencolok. Saya sendiri tidak yakin jika mereka tau bahwa kami ini adalah mahasiswa. Maklum, biasanya mahasiswa mencari pondokan dekat kampus, bukan di Beijum. Bisa jadi mereka justru menyangka kami ini pekerja asing di Groningen.


Kartu Natal

Beberapa saat menjelang Natal tahun lalu kami tiba-tiba punya ide cemerlang untuk berkenalan secara tidak langsung. Caranya adalah dengan mengirim kartu Natal. Kami sepakat untuk membeli sepuluh kartu Natal dan menuliskan nama-nama kami dan negara asal kami. Tak lupa kami informasikan bahwa kami adalah mahasiswa asing. Kartu tersebut kami masukkan ke kotak pos sepuluh tetangga terdekat. Di amplopnya kami hanya menuliskan alamat karena tidak tahu nama mereka.


Sungguh tidak disangka-sangka. Hanya berselang satu hari dari saat pengirimannya, kami sudah menerima kembali sepuluh kartu Natal balasan dari tetangga-tetangga kami itu. Mereka juga menuliskan namanya. Berkat kartu Natal, kami sekarang tahu nama tetangga kami dan, demikian pula sebaliknya, mereka juga tahu nama kami.


Sekarang jika bertemu, kami bisa menyapa sambil menyebut namanya. Kartu yang kecil ternyata bermakna besar karena sudah menjadi pembuka hubungan akrab dengan warga Belanda tetangga kami.

http://www.ranesi.nl/tema/belanda/pengalaman_di_belanda050826/makna_kartu_natal060320

For your own good: Ulasan film Singapura “I not stupid”

Film ini bercerita tentang tiga anak berumur sekitar 10 tahun dalam sebuah sekolah single-sex di Singapura. Ceritanya dikemas dengan cerdas: alurnya logis dan kocak, pesannya padat dan bermutu. Ga heran dia bisa menang beberapa kategori dalam Festival Film Internasional. Berikut ini komentar saya terhadap film “I not stupid”. Silakan ditambahkan atau dikurangi kalau ada yang punya pendapat lain ya.

Setiap anak unik karena setiap keluarga juga unik
Tiga sahabat yang jadi tokoh film tersebut punya karakter yang unik, sangat erat kaitannya dengan latar belakang keluarganya. Boon Hock yang bukan hanya paling “pintar” tapi juga cool datang dari keluarga sederhana yang jualan makanan. Sehari-harinya dia dibiasakan bekerja di warung orang tuanya dan mengasuh adiknya. Walhasil, sifatnya juga satria (ga bergitar) dan cerdas secara intelektual dan emosi (angkanya 92/100). Terry datang dari keluarga super kaya, kecerdasan intelektualnya rata-rata (65/100). Terry adalah sosok anak yang super patuh dan selalu dikuliahi ibunya untuk tidak ikut campur .. “it’s not your business”. Walhasil, menjelmalah Terry menjadi anak pengecut dan cengeng. Kok Pin, dialah yang “stupid” dalam ukuran mainstream pendidikan Singapura. Angkanya yang selalu rendah bikin ibunya merasa tergelitik untuk ikut saran teman sekantornya: “rotan bisa mendongkrak kemampuan anak2”. Begitulah, Kok Pien akhirnya harus dipecut ibunya, itupun tetap tidak membantunya (nilainya 51/100). Ini karena bakat Kok Pien bukan pada ilmu mainstream (Bahasa Inggeris, Matematika, Science) tetapi justru karena bakatnya sebenarnya pada bidang seni yaitu melukis. Keluarga Kok Pien adalah middle class Singapura yang harus berjuang untuk tetap berada di wilayah middle class yang penuh persaingan. Kok Pien sendiri begitu stress dengan nilainya sehingga sempat berniat bunuh diri.

Pergulatan sosial: quo vadis Singapura
Dalam skala mikro, film “I not stupid” menceritakan pro dan kontra masalah pendidikan di Singapura: bagaimana mengakomodasi anak-anak “bodoh” dalam mainstream yang super kompetitif itu. Namun, secara makro film ini juga bercerita tetang pergulatan sosial masyarakat Singapura yang bingung apakah harus kembali ke nilai-nilai Asia (baca: China) atau sepenuhnya berkiprah ke Kaukasia untuk memenangkan persaingan pasar. Di satu pihak, produk harus mendunia (berarti perusahaan harus berorientasi internasional), di lain pihak kadang-kadang mendunia bisa berarti sangat konyol. Ini digambarkan secara ekstrim tapi kocak bagaimana penasihat bisnis (orang Kaukasia) tidak mengerti budaya Asia: mau launching produk di saat tahun baru China kok pakai kemasan warna hitam.

Pendidikan di Indonesia vs. Pengajaran di Singapura
Secara umum ada 3 hal yang sangat berbeda antara pendidikan di Singapura dan di Indonesia. Pertama, dari sisi konsep. Singapura, nampaknya, menganut konsep Barat yang hanya mengajarkan Bahasa Inggeris, Matematika dan Science. Matematika adalah ibu segala ilmu pengetahuan dan alat untuk membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan. Bahasa juga penting karena ilmu pengetahuan harus bisa disampaikan dengan bahasa yang efisien dan efektif. Dengan kata lain, basis logika berpikir Science adalah Bahasa dan Matematika. Indonesia, di lain pihak, lebih ambisius. Dalam konsep pendidikan Indonesia manusia seutuhnya adalah dia yang mumpuni bukan hanya jasmani tetapi juga rohani, lahir maupun bathin. Karenanya anak didik harus dibekali ilmu tentang Agama, Pendidikan Moral Pancasila, Kewiraan, Sejarah dan teman-temannya. Dan hasilnya, ehm ehm!

Kedua, banyak tapi dangkal vs. sedikit tapi dalam (sumur kali!). Implikasi butir pertama: pendidikan ala Singapura lebih terspesialisasi sementara pendidikan ala Indonesia lebih terdiversifikasi. Kata Randy perbandingannya adalah nampan yang besar tapi datar vs. teko yang sempit tapi dalam. Nampaknya, manusia yang bisa semua secara menyeluruh dan mendalam sulit sekali didapat. Alternatif “second-best” justru spesialisasi. Sebaliknya spesialisasinya orang Indonesia: umum (kata Harry!). Ibaratnya obat, kayak mengkudu yang bisa mengobati 1000 penyakit. Sepertinya, dunia modern saat ini tidak muluk-muluk menuntut orang untuk tau semua (tapi kulit-kulitnya aja), tetapi justru profesional di bidangnya saja. Untuk bisa bersaing, seseorang justru harus pakar (dan betul-betul pakar) di satu bidang saja. Nah, kalau bidang itu demandnya minim, gimana? Apa harus jadi supir taxi atau narik ojek?

Ketiga, pengelompokan anak didik. Mengelompokkan anak didik berdasarkan kemampuan akademiknya semata terjadi sangat dini di Singapura (kelas 4 SD). Di Indonesia, anak-anak baru dikelompokkan jadi IPA, IPS, Bahasa baru di SMA (tolong dikoreksi kalau sudah ada perubahan). Selain itu, bukan hanya kemampuan tapi minat juga jadi bahan pertimbangan di Indonesia. Kalau betul-betul berminat, anak yang pintar boleh saja masuk jurusan IPS atau Bahasa yang “terstigma” sebagai jurusan pembuangan. Menurut mbak Ike, pengelompokan ini tidak dapat dihindari. Juga, tujuannya justru untuk kebaikan anak didik, yaitu memberi “perlakuan berbeda” (baca: treatment) pada anak didik yang kemampuannya berbeda. Namun, sangat sering pengelompokkan ini justru dianggap sebagai stigma yang bikin stres anak-anak dan orang tuanya. Anak yang pintar sih ga masalah, tapi bagaimana dengan yang “kurang pintar”? Haruskah mereka tersingkir dan menderita seumur hidupnya? Kata Angie, siapa kamu dan bagaimana hidupmu di Singapura ditentukan pada usia kelas 4 SD ketika kamu dikelompokkan jadi EM1, EM2, EM3? Apa ga terlalu muda?

Begitulah rangkuman film berikut diskusinya. Filmnya kocak, di sana sini selalu ada tawa penonton. Ketawa paling panjang adalah ketika diantara bahasa Mandarin (atau Kanton?) dan bahasa Inggeris, tiba-tiba ada yang nyeletuk bahasa Indonesia. Dialah ayahnya Terry yang menguruh pembantu rumah tangganya mengurus anak-anak … hehehe. Pahlawan devisa, maju terus pantang mundur!

Akhir ceritanya, ketiga anak tersebut secara tulus mengakui bahwa orang tua mereka – dengan segenap kekurangan – tidak mengingkan apa-apa selain kebaikan bagi anak-anaknya. Orang tua memang menuntut ini dan itu, tapi itu bukan apa-apa kecuali “for your own good”.

Salam,
mia, ibu rumah tangga
Submitted by mia on Thu, 2007-03-15 12:21
http://www.ppigroningen.nl/node/265

Gossip tentang gossip

Mind your own business! Artinya, uruslah dan bicaralah tentang dirimu saja. Kok kayaknya kita disuruh jadi egois ya? Ngomongin (kehebatan) diri sendiri bikin orang bosen. Biar ga bosen, harus ada gossip juga, asal tidak menjelek-jelekkan. Tapi sekali-sekali yuk bergossip tentang gossip.


Pertanyaan pertama: apa sih gossip itu?
Menurut sumber yang dapat dipercaya, gossip adalah pembicaraan informal, biasanya tidak berdasar dan tidak berguna alias kabar angin (angin=tidak ada, jadi kabar angin=omong kosong). Lebih jelek lagi kalau yang dibicarakan melulu keburukan orang. Ini bisa menjurus ke fitnah.


Konon, asal kata gossip sendiri adalah god-sib (sibling), god-parent, orang tua permandian (untuk orang Kristen) yang menunjukkan kedekatan hubungan. Artinya, jaman dahulu gossip hanya terjadi antara orang-orang yang dekat saja. Tapi, jaman berubah. Sekarang, semua koran dan majalah sudah menyiapkan kolom khusus untuk gossip, termasuk juga Invogro yang gossipnya selalu ditunggu … hehehe


Pertanyaan kedua: berita, interpretasi, atau spekulasi?
Bagi non-selebriti seperti kita ini (bangga!), yang lebih penting justru membedakan mana gossip tentang berita, mana gossip yang interpretatif, dan mana yang spekulatif. Seorang Menteri yang beberapa kali kedapatan ngobrol dengan gadis ABG bisa dianggap lagi jatuh cinta. Padahal, belum tentu! Ini gossip interpretatif, pendapat subyektif seseorang. Tapi kata orang, tak ada asap jika tidak ada api. Jadi, kalau tidak mau digosipin, gampang, jangan bikin api dong yee. Nah, kalau seorang menteri merayakan pernikahannya, jelas ini bukan interpretasi tapi murni berita. Bagaimana dengan spekulasi?


Pernah dengar gossip Pak Harto menikah lagi beberapa saat setelah almarhumah Ibu Tien meninggal? Pasalnya, seorang wartawan mendapati beliau berdiri di satu sisi makam almarhumah dan pindah ke sisi lain, berkali-kali. Tiba-tiba si wartawan teringat almarhumah pernah bersabda pada Pak Harto, “Mau kawin lagi? Langkahi dulu mayatku!” Sang wartawan langsung berkesimpulan: oh, kalau Pak Harto pindah dari satu sisi makam almarhumah ke sisi lain, itu berarti beliau melangkahi mayat almarhumah, itu berarti beliau ingin kawin lagi! Jelas, ini spekulasi! Bisa saja pak Harto berlaku demikian karena kebetulan tidak nyaman aja, banyak semut kali! Jika A maka B, jika B maka C, jika C maka D. Jadi jika A maka D. Ah, gossip yang spekulatif tuh!


Sayangnya, dalam banyak hal, berita, interpretasi dan spekulasi tercampur-campur. Harusnya, yang utama adalah berita, lainnya hanyalah bumbu aja. Tapi gawat kalau bumbu interpretasi dan spekulasinya yang justru mendominasi. Apalagi kalau media yang dipakai adalah bisik-bisik.
Pernah ikutan permainan bisik-bisik? Itu lho, 10 orang berjajar. Orang pertama dibisiki satu kalimat panjang. Nah, kalimat itu dibisikkan ke telinga orang kedua. Terus menerus, sampai ke orang kesepuluh. Dijamin, kalimat pertama sudah berubah 180 derajat di telinga orang kesepuluh. Jadi, berita yang "sensi" sebaiknya tidak disampaikan bisik-bisik tetapi ditulis aja deh.


Pertanyaan terakhir: mengapa orang bergossip?
Konon, gossip lebih kental dalam masyarakat yang lebih suka bercerita (daripada membaca atau menulis). Dalam masyarakat seperti ini, kohesi dibangun dengan cara berbagi informasi dengan cara verbal. Jadi, gossip bisa jadi melekat pada kultur juga.
Juga, perkembangan teknologi dan komunikasi mendekatkan orang sekaligus menggelitik mereka untuk bergossip. Ngobrol via telfon, kirim sms, berpartisipasi di chat room, ngomongin apa ayo! Masak ngomongin batu, gunung, planet? Bikin ngantuk deh.


Tapi kata orang bijak: mereka yang pikirannya hebat berbicara tentang gagasan; mereka yang pikirannya biasa-biasa saja bicara tentang kejadian-kejadian; mereka yang pikirannya sederhana bicara tentang orang lain! Mungkin paling menyenangkan punya teman yang kadang-kadang pikirannya hebat, kadang-kadang biasa-biasa saja, dan kadang-kadang serderhana. Bikin hidup jadi lebih hidup, gitu lho!

Submitted by mia on Sat, 2006-10-21 11:38
http://www.ppigroningen.nl/node/258

Jender dan Kinerja Perusahaan

Era globalisasi yang serba kompetitif menuntut dunia usaha memberi lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berkarya. Pasar tenaga kerja, khususnya di kota-kota besar, makin diramaikan partisipasi perempuan.


Perempuan mulai mengejar ketinggalan, terbukti dari meningkatnya sarjana perempuan, khususnya dalam bidang ekonomi, bisnis, dan manajemen. Bukan itu saja, perempuan juga sudah menjadi konsumen utama berbagai produk konsumtif. Produk yang dulu hanya dikonsumsi laki-laki (motor, mobil) dan produk investasi (rumah, apartemen) sekarang dapat dibeli perempuan.


Jadi, perempuan adalah aset perusahaan sekaligus pangsa pasar yang diincar. Pertanyaan mendasar, apakah perusahaan memberi kesempatan perempuan meniti kariernya sampai ke puncak tertinggi? Dapatkah mereka duduk di jajaran pengambil keputusan seperti direksi dan komisaris?


Gejala atap kaca
Istilah gejala atap kaca (glass ceiling phenomenon) pertama kali ditelurkan dalam Wall Street Journal tahun 1986. Istilah ini mengacu pada adanya hambatan transparan, seperti kaca, di mana perempuan (dan kaum minoritas) hanya bisa melihat ke atas: bahwa di sana ada posisi bergengsi, tetapi tidak dapat ditembus. Promosi dan kenaikan pangkat di banyak perusahaan, bahkan di negara maju sekalipun, masih dipengaruhi aspek jender.
Diskriminasi dalam hal promosi jabatan hanya salah satu dari tiga diskriminasi jender yang dihadapi perempuan karier. Selain itu, ada juga perbedaan gaji dan perbedaan tingkat pengunduran diri. Statistik menunjukkan, perempuan lebih banyak berhenti bekerja daripada laki-laki.


Mengapa demikian? Apakah perempuan berhenti bekerja karena lebih mengutamakan keluarga daripada kariernya? Penelitian oleh Stroh et al (1996) menunjukkan, hal itu terjadi karena mereka tidak mendapat perlakuan yang sama dengan laki-laki dalam promosi.


Motif keuntungan
Perempuan karier yang berjuang untuk jabatan-jabatan tinggi dalam perusahaan harus menyerah pada gejala atap kaca yang merintangi mereka. Banyak yang frustrasi dan mencari pekerjaan di perusahaan lain atau menjadi wiraswastawati.
Mengapa perusahaan harus memberi tempat bagi perempuan di jajaran pengambilan keputusan? Tentu ada motivasi keadilan jender. Tetapi, bagi perusahaan motivasi paling manjur adalah keuntungan.


Pertama, alasan talenta (yang juga dimiliki perempuan). Jajaran direksi dan eksekutif harus dipilih dari kumpulan orang-orang terbaik tanpa peduli jendernya. Tim yang terdiri dari laki-laki dan perempuan terbaik merupakan tim yang lebih kreatif dan inovatif.
Alasan kedua, pasar. Perempuan adalah pangsa pasar yang menguntungkan. Jadi, perusahaan harus responsif terhadap konsumen perempuan dan tidak ada yang lebih mengerti perempuan selain perempuan sendiri. Studi oleh Adler (2001) dan Catalyst (2004) menunjukkan kedua alasan ini mendukung adanya korelasi antara keragaman jender pada jajaran direksi/eksekutif dan kinerja finansial di 353 dari 500 perusahaan terbaik di Amerika Serikat.


Alasan ketiga, relasi dengan pegawai perusahaan. Perempuan yang jadi petinggi perusahaan memberi kesan—khususnya bagi karyawati dan calon karyawati—tidak ada atap kaca dalam perusahaan. Artinya, perusahaan tidak diskriminatif. Jika karyawati (dan calon karyawati) menangkap sinyal ini, komitmen (dan ketertarikan) mereka terhadap perusahaan meningkat.
Selain itu, anggota direksi dan manajer perempuan juga dapat memperjuangkan aspirasi karyawati, terutama keseimbangan urusan kantor dan keluarga.


Perusahaan yang meniadakan gejala atap kaca dan responsif terhadap urusan keluarga pegawainya secara langsung atau tidak langsung meningkatkan kepuasan pegawai, yang berarti menurunkan angka pengunduran diri. Master (2003) mencatat tingginya kerugian perusahaan akibat pengunduran diri pegawainya. Sialnya, pengunduran diri tersebut terjadi pada pegawai yang justru dibutuhkan perusahaan. Akibatnya, perusahaan kehilangan investasinya dan harus mengeluarkan biaya lagi untuk merekrut dan melatih pegawai baru.


Ketiga alasan ini adalah motivasi yang sah bagi perusahaan untuk memberi kesempatan yang sama bagi perempuan menjadi petinggi perusahaan. Artinya, ada potensi perbaikan kinerja jika perusahaan berkeadilan jender. Diskriminasi jender bukan hanya merugikan perempuan, tetapi juga merugikan perusahaan dan masyarakat umumnya.


Palmira P Bachtiar, Mahasiswi Riset Master Ekonomi University of Groningen, Belanda
Dimuat di Kompas, 11 September 2006

Submitted by petit on Thu, 2006-09-14 02:47

http://www.ppigroningen.nl/node/245

Piala Kebanggaan Budi

Waktu kecil dulu, Sabtu sore selalu jadi saat yang dinanti-nantikan. Dialah saat kedatangan majalah Bobo, Si Kuncung, dan Kawanku. Sungguh menyenangkan berakhir pekan ditemani aneka cerita anak-anak. Diantara cerita yang berkesan adalah cerita tentang seorang anak laki-laki bernama Budi. Begini kisahnya.


Adalah seorang anak kelas 5 SD bernama Budi. Rajin dan tekun belajar serta bercita-cita tinggi, itu sifatnya. Sayangnya, Budi belum pernah jadi juara sekolah. Setiap tahun selalu ada anak yang terpilih jadi juara sekolah dari sekian banyak juara kelas. Sang juara sekolah ini diizinkan membawa pulang sebuah piala perak selama satu tahun. Setahun kemudian, piala itu dikembalikan ke sekolah untuk diperlombakan lagi.


Tentu saja semua anak yang rajin belajar sangat mendambakan piala bergilir itu. Budi juga. Dalam mimpinya, ia membayangkan piala itu jadi miliknya. Mimpi itulah yang memaksa Budi belajar dengan tekun. Kadang-kadang ia harus mengorbankan keinginannya untuk main bola. Tapi niatnya sudah bulet (seperti slogannya PDIP). Godaan apapun tidak digubrisnya.
Kerja keras Budi tidak sia-sia. Diakhir tahun ajaran, pengumuman juara sekolah dibacakan oleh Kepala Sekolah. Ketika namanya disebut, Budi hampir-hampir tak percaya. Dia maju menerima piala itu dengan mata berkaca-kaca. Sungguh luar biasa!


Begitulah kisahnya. Budi sangat membanggakan pialanya. Kerabat dan handai taulan datang berkunjung menyentuh bahkan memeluk piala tersebut. Begitu mereka pulang, segera Budi menggosok pialanya dengan lap bersih, pakai brasso kalau perlu. Tidak diizinkan olehnya sidik jari bahkan setitik debu pun hinggap di situ.


Budi terlena oleh waktu. Kesibukannya menggosok dan mengagumi keindahan pialanya membuatnya lupa belajar. Ia lupa bahwa ujian sudah dekat. Budi gagal dalam ujian akhir tahun. Siapa yang menyangka mantan juara sekolah ternyata tidak naik kelas?

Apakah memenangkan piala itu justru adalah bencana? Seandainya Budi tidak jadi juara kelas, tentu ia tidak tinggal kelas. Tetapi jika Budi cerdas mengelola kemenangannya, bisa jadi piala itulah yang justru mendorongnya belajar lebih tekun dan jadi juara sekolah lagi. Berarti bola memang ada di tangan Budi.


Yang jelas dari cerita itu adalah bahwa Budi punya dua masalah: ia terlena oleh prestasinya (baca: sombong); ia terlena oleh waktu. Yang pertama itu adalah sikap (attitude) yang tidak terpuji. Tetapi yang kedua lebih parah lagi karena ia sudah jadi tindakan (behavior).

Waktu adalah sumberdaya, jadi tidak menghargai waktu berarti tidak menghargai sumberdaya. Kata nenek (orang bule), time is money! Betul banget. Uniknya lagi, waktu adalah satu-satunya sumberdaya yang dibagikan oleh Allah secara sama rata pada semua makhlukNya. Makanya QS Al Ashr: 1-3 jadi bacaan sholat paling favorit. Bukan karena singkatnya (becanda!) tapi justru karena kedalaman maknanya.


Salam anget,

Mia *)

*) lagi berpacu dengan waktu,(sebagai otokritik) mungkin akibat sindrom PKB (Piala Kebanggaan Budi)

Submitted by mia on Fri, 2006-07-21 10:43
http://www.ppigroningen.nl/node/229

Sedikit tentang jender

Apa sih jender itu? Masih banyak orang yang salah mengerti. Jender dianggap sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan hak perempuan saja”. Pokoknya, dengar kata jender langsung terbayang deh para pegiat perempuan berteriak-teriak demonstrasi. Aduh, bikin alergi deh! Kalau ingat mereka itu, rasanya hilang semua rasa ingin tau tentang jender.

Saya ingin sedikit berbagi tentang pengalaman mengenal istilah jender. Kebetulan, saya dapat tugas jadi pengamat pelatihan kelompok mandiri di desa nun terpencil, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Pelatihannya unik karena disesuaikan dengan kelompok sasaran yang buta huruf, dilaksanakannya juga di rumah reyot, bukan di balai desa. Instruksinya begini: fasilitator pelatihan menunjukkan gambar, dan para ibu dan bapak harus menebak apakah gambar itu cocok untuk laki-laki atau perempuan. Gambar tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga tidak terlihat apakah itu gambar laki-laki atau perempuan.

Gambar 1: jabang bayi dalam kandungan
Tebakan: perempuan!
Diskusi: kelompok sepakat bahwa bayi hanya bisa ada dalam kandungan perempuan. Laki-laki tidak bisa seperti itu.

Gambar 2: orang mencangkul, membajak sawah
Tebakan: laki-laki!
Diskusi: sebagian besar setuju mencangkul itu adalah tugas laki-laki.
Fasilitator menggelitik: apa iya perempuan ga ada yang bisa mencangkul dan membajak sawah? Salah seorang ibu angkat bicara: “Iya lho. Saya juga pernah mencangkul dan membajak sawah, dulu waktu bapaknya anak-anak lagi sakit.” Nah, betul kan? Perempuan juga kuat untuk mencangkul dan membajak sawah. Sebaliknya, ada laki-laki yang justru tidak kuat melakukan ini.

Gambar 3: gambar orang menangis, rambut yang panjang
Tebakan: perempuan!
Diskusi: Yang biasa menangis adalah perempuan, yang punya rambut panjang adalah perempuan.
Fasilitator menggelitik: “lho apa laki-laki tidak boleh menangis?” Ada yang bilang, “pantang, bu. Mosok wong laki cengeng. Ya, ga genah!”. Tapi laki-laki kan juga punya perasaan. Boleh toh, laki-laki yang lagi sedih menangis? Pertanyaan ini diiyakan oleh kelompok. Mengenai rambut panjang juga dibahas. Mereka setuju bahwa ada laki-laki di desa itu yang rambutnya panjang karena dapat wangsit ... hehehe

Gambar 4: dapur dan tumpukan baju kotor
Tebakan: perempuan!
Diskusi: Laki-laki ga bisa masak dan mencuci baju itu kerjaan perempuan. Fasilitator menggelitik: “lho, laki-laki kan juga bisa masak? Bisa ceplok telor, tumis sayur? Laki-laki juga bisa nyuci” Kelompok setuju bahwa laki-laki juga bisa terlibat urusan dapur dan cucian baju.

Kemudian sang fasilitator membahas lagi satu per satu gambar itu. Kelompok sepakat bahwa dari empat gambar, hanya satu yang bukan masalah jender, yaitu gambar pertama. Gambar yang lain semuanya bisa dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, jadi ada kaitannya dengan jender.

Jender bukan hanya berkaitan dengan perempuan. Jender adalah hak, kewajiban, tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungannya dengan kondisi biologisnya. Jender membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial, bukan kondisi biologis. Jadi, laki-laki tidak bisa melahirkan anak dan tidak bisa menyusui. Ini bukan masalah jender. Tapi, laki-laki tidak boleh menangis, ini masalah jender. Perempuan haid, ini bukan masalah jender. Tapi perempuan mengurus anak, masak, mencuci baju. Ini masalah jender karena mengurus anak, masak dan cuci bisa juga dilakukan oleh laki-laki. Suami isteri ke pasar, isteri lenggang kangkung, suami mengangkat semua belanjaan yang berat itu. Ini juga masalah jender. Laki-laki dipersepsikan kuat dan perempuan memanfaatkan persepsi ini. Padahal seharusnya suami dan isteri berbagi beban.

Konstruksi sosial (norma dan nilai-nilai) dalam masyarakatlah yang mendikte bahwa laki-laki tidak boleh menangis dan urusan dapur adalah urusan perempuan. Konstruksi sosial ini bisa diperbaiki jika baik laki-laki maupun perempuan sama-sama sadar jender. Tanpa kepedulian laki-laki sulit bagi perempuan untuk memperbaiki konstruksi sosial yang bias jender dan merugikan mereka.

Kelompok mandiri itu kemudian diajak berdiskusi pentingnya laki-laki membantu pekerjaan isterinya. Terlebih-lebih karena isterinya juga membantu suaminya dalam mencari nafkah rumah tangga. Perempuan membantu laki-laki, jadi boleh dong, kalau laki-laki juga diminta membantu perempuan.

Beberapa waktu kemudian, saya masih berkesempatan mengunjungi kelompok itu. Saya tanyakan pada mereka, apa sih artinya jender. Jawabnya serempak: “kerjasama, bu!”. Hm, jawabannya tidak ilmiah tapi cukup membumi. Lalu saya tanyakan pada seorang bapak, “karena bapak sudah sadar jender, bapak sekarang bantu isteri dong di rumah.” Jawabnya: “Kalau isteri saya sakit ya saya bantu. Tapi mbok ya jangan sakit toh!”. Jawabannya disambut gelak tawa teman-temannya. Terakhir tentang perbedaan upah laki-laki dan perempuan. Kata mereka “Lha wis toh, bu. Sing bayar ora jender!” Rupanya jender sudah jadi ikon “tujuan yang baik” sehingga mereka yang tujuannya tidak baik “bukan jender” … hehehe.

Konstruksi sosial memang tidak mungkin diperbaiki hanya dengan pelatihan saja. Tapi setidaknya pelatihan tersebut sudah membuka mata dan hati laki-laki dan perempuan untuk memahami masalah jender dalam kesehariannya. Pintu masuk yang cukup strategis bagi upaya kesetaraan jender di desa nun terpencil di Kabupaten Pacitan.

Hm, kesimpulan akhir, judul dan naskah tulisan ini ga nyambung. Judulnya sedikit tentang jender, naskahnya panjanggg banget. Jangan bosan, ya!

Submitted by mia on Sun, 2006-05-28 19:58
http://www.ppigroningen.nl/node/199

Jacob Zuma, Mantan Wapres Afsel, Bisa Bernafas Lega Sejenak

Berhubung pernah tinggal beberapa bulan di Afrika Selatan, saya suka sekali baca berita tentang negara yang indah dan unik ini. Ini adalah ringkasan berita seputar Jacob Zuma, mantan wapres Afsel yang kesandung kasus pemerkosaan.


Kejadiannya di bulan November 2005 dan korbannya adalah anak perempuan yang sudah seperti keluarga. Jacob Zuma sendiri sudah kakek-kakek berusia 64 tahun, sementara si perempuan umurnya 31 tahun. Si korban datang ke rumah Jacob Zuma dan di situ ia diperkosa. Aduh, tega ya! Si perempuan bilang dia tidak berteriak karena dia seperti tersihir untuk mengikuti kehendak Jacob Zuma yang dianggapnya seperti ayahnya sendiri.


Bebas dari tuduhan perkosaan

Kemarin, Jacob Zuma diputus bebas atas tuduhan perkosaan itu. Menurut hakim, ada bukti-bukti yang kuat bahwa sang perempuan setuju melakukan hubungan sex dengan Jacob Zuma. Tidak ada bukti-bukti bahwa Jacob Zuma memanfaatkan kondisi si anak perempuan itu, yaitu kondisi yang lemah, penurut dan gampang dirayu. Sebaliknya, ada bukti bahwa si perempuan itu suka mengajukan tuduhan pemerkosaan yang tidak benar.


Keputusan itu disambut riuh rendah para pendukung Jacob Zuma sementara para penentangnya menangis terisak-isak. Rakyat Afrika Selatan memang terpecah dua atas kasus terbesar sejak berakhirnya pemerintahan Apartheid. Kubu pendukung Jacob Zuma adalah warga etnis Zulu (salah satu etnis terbesar di Afsel) dan sebagian anggota ANC (African National Congress, parpol terbesar di Afsel) yang berharap Jacob Zuma bisa jadi presiden Afsel menggantikan Thabo Mbeki. Sementara kubu penentangnya datang dari kalangan gender, pegiat anti-pemerkosaan, pegiat HIV/AIDS, serta masyarakat yang pikirannya masih logis (hehehe!).


Pernyataan kontroversial

Komentar-komentar Jacob Zuma selama peradilan terlalu kontroversial dan bikin gerah banyak orang. Dia bilang, anak perempuan itu mengundang hasratnya karena dia mengenakan rok pendek. Terang saja, ini membuat pegiat hak perempuan berang. Alasan klasik! Afsel adalah salah satu negara dengan kasus perkosaan tertinggi di dunia. Pernyataan Jacob Zuma dianggap sangat merugikan upaya memberantas perkosaan. Kasus ini membuat perempuan yang diperkosa tidak mau melaporkan perkosaannya karena takut menjadi bahan olok-olok publik.

Dia juga bikin geram pegiat AIDS dengan pernyataannya bahwa dia berhubungan seks dengan anak perempuan itu tanpa pakai kondom, sementara dia tau persis bahwa perempuan itu mengidap HIV/AIDS.


Sungguh lucu, Jacob Zuma adalah salah seorang pegiat HIVAIDS. Dia mengetuai organisasi South African Moral Regeneration Campaign dan rajin berkoar-koar slogan ABC (Abstain, Be loyal, Condomise). Tapi dia sendiri tidak melaksanakan satupun dari slogan itu. Dia tidak berpantang, tidak setia pada satu pasangan (oh iya, dia itu poligami lho, sudah poligami masih memperkosa juga!), dan tidak memakai kondom (kalau terpaksa melanggar A dan B). Lebih lucu lagi, dia bilang habis memperkosa dia mandi. Dia percaya, dengan mandi itu dia sudah meminimumkan kemungkinan tertular HIV/AIDS. Wakakakkk, pelawak banget!


Tetap pahlawan

Sebelum pengadilan kasus perkosaan awal tahun ini , Jacob Zuma sudah dipecat dari jabatan wapres karena kasus korupsi yang menimpanya. Pengadilan kasus korupsi direncanakan pada bulan Juli 2006. Kalau terbukti tidak bersalah, Jacob Zuma akan mencalonkan diri jadi presiden Afsel. Sementara kalaupun terbukti bersalah, Jacob Zuma tetap dipandang sebagai pahlawan anti-apartheid dimata pendukungnya. Memang Jacob Zuma adalah teman seperjuangan Nelson Mandela. Mereka dipenjara bertahun-tahun di pengasingan di Rodden Island.


Bagi pendukungnya, tuduhan perkosaan dan korupsi terhadap Jacob Zuma adalah bagian dari konspirasi yang menghalangi jalan sang pahlawan ke jenjang tertinggi negara itu. Tapi, sungguh sayang jika negara seindah Afrika Selatan diperintah oleh presiden yang komentarnya begitu menggelikan. Ternyata sulit sekali mencari sosok seperti Nelson Mandela yang mempersatukan Afrika Selatan melawan apartheid secara damai. Sebaliknya, melalui komentar-komentarnya, Jacob Zuma justru memecah negara itu.

Diringkas dari Reuter, Los Angeles Times, Independent Online

Submitted by mia on Tue, 2006-05-09 16:03
http://www.ppigroningen.nl/node/195

Tom Cruise dan Brooke Shields

Kabar kelahiran bayi perempuannya Tom Cruise dan Katie Holmes tanggal 18 April lalu jadi berita penting dunia hiburan. Nama anak mereka, Suri. Dalam bahasa Hibrani, Suri berarti ratu dan dalam bahasa Iran, berarti mawar merah. Begitu beritanya. Tapi ada berita lain lagi mengenai nama ini. Konon banyak orang Israel terkejut karena belum mengenal kosa kata “Suri”. Ga nyangka. Urusan nama aja jadi berita.


Yang menarik lagi adalah Brooke Shields dan Katie Holmes melahirkan anak pada tanggal yang sama, jenis kelaminnya sama dan di rumah sakit yang sama. Nama anaknya Brooke dengan suami Chris Hency itu adalah Grier. Kata Brooke Shields, “the irony is perfect!”. Mengapa ia berkata begitu?


Cekcok soal obat anti stres

Tahun lalu, ada cekcok antara Brooke Shields dan Tom Cruise. Brooke menerbitkan buku hariannya berjudul Down Came the Rain: My Journey through Postpartum Depression. Buku ini adalah ungkapan pengalaman pribadinya setelah melahirkan anak pertamanya. Dalam bukunya itu, Brooke menceritakan bagaimana depresi yang dilalui oleh perempuan setelah melahirkan. Biasanya, seluruh perhatian keluarga tercurah pada sang bayi. Ibu sendiri malah tidak diacuhkan. Tuntutan terhadap ibu meningkat tajam sementara perhatian berkurang drastis, akhirnya ibu jadi stres deh. Untuk menghadapi stres seperti ini, Brooke menganjurkan sang ibu untuk memakai obat anti stres.


Tom Cruise memberi komentar negatif terhadap buku Brooke. Dalam wawancara di TV, Tom bilang bahwa para ibu tidak perlu obat sehabis melahirkan karena depresi ini bisa diatasi dengan berolahraga dan minum vitamin. Tidak kalah sengitnya, Brooke bilang bahwa komentar Tom itu konyol dan melecehkan ibu-ibu sedunia (ceilleh!). Lanjutnya lagi, “Tom Cruise pastilah belum pernah merasakan depresi habis melahirkan!”. Ya, iyalah! Emangnya Arnold Swarzenegger. Ingat ga filmnya yang berjudul Junior yang kocak itu?


Rukun lagi

Hari kelahiran Suri itu dipakai oleh Brooke untuk mengakhiri perseteruannya dengan Tom Cruise. Ia mengirimkan bunga kepada Tom dan Katie. Sementara itu, Tom dan Katie sendiri lagi merencakan bikin klub selebriti “Mommy and me” dimana Brooke dan anak-anaknya juga diundang jadi anggota. Rukun lagi deh.


Kalau para selebriti rukun, jangan-jangan wartawan malah kekurangan amunisi nih! Biasanya kan begitu. Tugas wartawan infotainmen memanas-manasi selebriti. Kipas terus, makin banyak asapnya makin bagus. Ah, untung saya bukan selebriti … hehehe.


Diringkas dari People News dan Forbes.

Submitted by mia on Tue, 2006-05-02 14:41.
http://www.ppigroningen.nl/node/194

Filsafat keadilan dari dapur

Adil bisa jadi visi misi utama organisasi di jajaran yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Tapi apakah adil hanya konsep normatif dan tidak menyentuh mereka yang bukan pengambil keputusan?


Mari berandai-andai satu kondisi paling ekstrim: seorang perempuan kepala empat (umurnya!), jomblo, hanya lulusan SD dengan angka pas-pasan, pengangguran dan tinggal sama orang tuanya yang hidupnya juga pas-pasan. Setiap hari tugasnya hanya memasak. Bagaimana perempuan ini – dengan karakteristik tadi ditambah lagi tampangnya dan kepri”bodi”an/”bodi” pekertinya juga dibawah rata-rata, kebetulan juga pemalu dan tidak suka gosip (jadi ga punya teman banyak) – bisa menciptakan keadilan? Dimana? Di dapur? Ah, masa’!


Bagi kalangan tertentu, dapur adalah tempatnya orang tidak penting. Urusan dapur adalah urusan domestik, hanya reproduktif, bukan produktif, jadi tidak ada nilai ekonominya. Urusan dapur, urusan gampang, urusan orang perempuan. Makanan adalah masalah kecil. Kalau lapar, bisa panggil pedagang yang rajin dan sabar mondar-mandir di jalan. Mulai pagi: ada tukang gado-gado pecel, gorengan, soto mie, bubur ayam. Siang: bakso, mie ayam, es buah, es teler, siomay. Malam: tahu tek-tek, sate ayam. Aduh, jadi lapar nih! Itu baru yang mondar-mandir, belum yang secara permanen mangkal di pinggir jalan. Ah, pokoknya ga bisa masak juga ga masalah. Menu yang tersedia di jalan begitu beragam: empat sehat lima sempurna deh. Jadi, wajar kalau dapur dan memasak bukan urusan istimewa.


Lalu bagaimana tokoh perempuan kita (yang hanya bisa masak) ini menerapkan filsafat keadilan di dapur (yang tidak penting)? Adil dalam urusan rasa? Manis, asem, asin (nano-nano kali)? Mungkin bukan itu. Yang lebih tepat mungkin adalah urusan membagi. Adil membagi, ini tidak gampang.


Kalau bikin lemper ayam, misalnya, yang paling susah adalah membagi ketan dan tumisan ayamnya secara adil. Kalau secara keseluruhan mengukur jumlah ketan hingga pas dengan ayamnya, ini mungkin ada di resep. Tapi bagaimana ketan dan ayam yang sudah masak itu dibagi secara individu menjadi limabelas bagian (misalnya) sedemikian sehingga lemper pertama dan lemper kelimabelas sama (kurang lebih) timbangan ketan dan ayamnya. Yang biasa terjadi, lemper pertama atau lemper kelimabelas paling banyak atau paling sedikit ayamnya. Tokoh kita bisa saja memberi tanda, lemper mana yang paling banyak ayamnya. Lemper istimewa itu yang dimakannya.


Kelihatannya sepele dan hanya tokoh perempuan kita ini yang tau apakah dia adil atau tidak. Dalam urusan bikin lemper, tokoh perempuan kita adalah pengambil keputusan utama (soal keadilan lemper) di tempat yang mungkin paling tidak utama. Si penikmat lemper mungkin merasa kok ayamnya kurang. Tapi dia tidak pernah tau apakah lemper yang dimakannya berbeda dengan lemper yang dimakan orang lain. Si penikmat hanya bisa tahu sifat adil sang tokoh perempuan kita jika – dan hanya jika – ia makan lima belas lemper berturut-turut dan menilainya satu per satu. Tapi apakah tokoh perempuan kita peduli dengan urusan ini? Bisa iya bisa tidak. Kalau tokoh kita cuek, jadilah lemper dengan rupa-rupa takaran. Tapi siapa yang akan tahu ?


Begitulah keadilan. Dalam banyak hal, hanya si pengambil keputusan yang tahu apakah keputusannya adil atau tidak. Hanya kita, sebagai mahasiswa/i (lebih-lebih bagi penerima beasiswa), yang tau apakah kita adil membagi waktu belajar, beribadah, chatting, baca internet, jalan-jalan, makan dan tidur. Hanya sang guru yang tau apakah gambar si Hasan pantas mendapat 7 sementara si Amir dapat 6.5. Seorang hakim bisa memutuskan bersalah seorang koruptor dengan kurungan 2 tahun, atau 1 tahun 11 bulan. Apa bedanya kurungan 2 tahun dengan kurungan 1 tahun 11 bulan (apalagi kalau kurang 1 bulan itu berarti ada pemasukan 10 juta – misalnya – bagi sang hakim)? Siapa yang rugi kalau si koruptor lebih sedikit hukumannya dan hakim jadi lebih kaya?


Ini berarti persoalan “asymmetric information” bukan melulu masalah ekonomi. Ia juga jadi masalah hukum. Kalau begini, satu-satunya solusi optimal yang normatif adalah hati nurani. Hati nurani harus terus diasah supaya terus peduli terhadap masalah keadilan dimana saja, kapan saja, siapa saja. Coca cola kali ye!


Kesimpulannya. Pertama, siapapun dia, dia adalah pengambil keputusan. Ini terbukti dari contoh ekstrim khayalan kita. Kedua, sifat adil tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan, kekayaan, ketenaran, kecantikan. Tokoh perempuan kita yang baca tulis pas-pasan dan miskin itu mungkin bisa lebih adil daripada professor yang kaya, ganteng dan tenar. Adil adalah urusan kepedulian dan hati nurani. Ketiga, keadilan itu tidak jauh. Dia dekat dengan keseharian kita. Ini sudah kita buktikan juga. Keadilan ternyata tidak hanya ada di istana presiden dan gedung DPR/MPR, tetapi juga di kampus, di kantor, di jalan, dan di dapur.


Selamat hari Kartini.

Juga, selamat ulang tahun ke 80 untuk Ratu Elizabeth II.

Submitted by mia on Fri, 2006-04-21 08:22

http://www.ppigroningen.nl/node/189

Komersialisasi Sperma dan Sel Telur

Awal tahun ini, Negara bagian Arizona mengesahkan Undang-Undang yang melarang perempuan menjual sel telurnya. Pelanggar Undang-Undang, baik si penjual maupun si pembeli, akan terkena denda USD 1500 ditambah 1 tahun kurungan. Meskipun dilarang menjualnya, Undang-Undang ini tetap mengizinkan perempuan menjadi donor sel telur (tanpa penggantian uang) untuk keperluan penelitian. Tapi ini hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup. Bagaimana reaksi perempuan terhadap Undang-Undang ini?


Proses Jual Beli

Jual beli sel telur dan sperma sudah bukan hal yang asing lagi di negara-negara maju. Konon seorang perempuan bisa menerima sampai USD 24,000 untuk enam kali sumbang sementara laki-laki bisa punya penghasilan paling sedikit USD 35 sekali sumbang. Seorang laki-laki bahkan bisa secara rutin menyumbang tiga kali sebulan dan mendapat uang maksimal USD 900 per bulan. Sungguh, ini jumlah yang menggiurkan.


Hak perempuan dan keperluan riset

Banyak kalangan, terutama perempuan yang membutuhkan uang, menganggap Undang-Undang ini merugikan mereka. Salah seorang anggota Dewan, Linda Lopez, mengatakan tidak adil jika hukum membolehkan laki-laki menjual spermanya tetapi melarang perempuan menjual sel telurnya.


Di lain kesempatan, ketua Dewan Etika Institut Teknologi Sel Manusia di Massachusetts mengatakan larangan memberikan pembayaran bagi donor sel telur akan menghambat kemajuan dibidang kedokteran. Perempuan menjadi donor bukan hanya karena kebaikan hatinya tetapi juga ditopang dengan motivasi uang. Jika mereka tidak mendapat kompensasi yang cukup, pastilah hanya sedikit perempuan yang datang menyumbang dengan sukarela. Untuk memanen sel telur, seorang donor harus disuntik hormon. Pemanenan itu dilakukan dengan memasukkan jarum besar ke dalam vagina untuk mengambil sel telur yang keluar dari ovarium tepat pada saat awal ovulasi.


Hak laki-laki dan potensi bahaya bagi perempuan

Anggota Dewan yang tidak setuju merujuk tidak konsistennya Undang-Undang ini dengan upaya persamaan hak lai-laki dan perempuan. Jika laki-laki boleh bebas menjual spermanya dan mendapat uang dari itu, mengapa ini tidak berlaku untuk perempuan?


Menurut Bob Stump, anggota Dewan yang juga penggagas Undang-Undang ini, pemerintah berniat melindungi perempuan. Prosedur pemanenan sel telur dianggap dapat membahayakan kesehatan karena dapat memicu kanker ovarium, apalagi jika dilakukan berkali-kali untuk mendapatkan uang. Melalui jual beli ini, lembaga penelitian dan laboratorium juga ditenggarai berpotensi mengeksploitasi perempuan yang membutuhkan uang. Pemanenan sperma, dilain pihak, sama sekali tidak berbahaya. Dengan jenaka Bob mengatakan bahwa menyeberang jalan mungkin lebih berbahaya bagi laki-laki daripada menyumbangkan spermanya.


Menurut Linda Lopez, ini tidak benar. Laki-laki yang menyumbang sperma harus menyadari bahwa suatu waktu mereka bisa saja dituntut oleh pengadilan untuk menanggung biaya hidup bagi anak biologisnya, terutama jika sang anak dalam keadaan membutuhkan. Artinya, salah juga jika dikatakan bahwa laki-laki tidak punya resiko apa-apa ketika menyumbang sperma. Namun Linda juga tidak menyangkal bahwa jual beli sel telur lebih berbahaya daripada jual beli sperma. Sel telur yang dibeli oleh pihak laboratorium dapat disalahgunakan untuk keperluan kloning manusia. Bahaya ini tidak terdapat pada komersialisasi sperma.


Inggeris sudah lebih dulu melarang

Larangan komersialisasi sel telur sudah lebih dulu diundangkan di Inggeris, yaitu pada akhir tahun 2003. Sebelumnya, perempuan bisa menjual sel telurnya atau boleh tukar guling sel telur dengan perawatan bayi tabung, In Vitro Fertilisation (IVF). Caranya, perempuan tersebut harus dua kali memanen sel telurnya: satu untuk disumbangkan kepada laboratorium untuk keperluan riset dan satu lagi untuk perawatan IVF dirinya sendiri. Dengan menyumbangkan sel telurnya, ia akan mendapat potongan pembayaran.


Diringkas dari Capitol Media Service, San Francisco Chronicle, BBC

Submitted by mia on Wed, 2006-04-19 11:59.

http://www.ppigroningen.nl/node/188

Non-credible threat, Ancaman yang tidak perlu dihiraukan

Di milis PPIG ada pertanyaan dari Farhad mengenai rencana pengalihan cadangan devisa negara-negara Timteng dari USD ke EUR. Apakah rencana ini bisa jadi awal kejatuhan USD dan kemudian kejatuhan ekonomi Amrik?


Utang dong!

Pertama-tama harus digarisbawahi bahwa kekhawatirannya Farhad merupakan tanda-tanda bahwa yang bersangkutan adalah kolektor mata uang asing. Jadi, kalau aku lagi bokek, boleh dong utang, Had … hehehe. Berhubung riba dilarang dalam Islam, jangan pakai riba, ya. Berhubung lagi kita ini teman, boleh dong bayarnya ga usah buru-buru.


Perspektif makro ekonomi: portfolio manajemen

Dendi memberi pencerahan. Katanya, ini bisa jadi tanda-tanda keruntuhan ekonomi Amrik akibat defisit yang tinggi. Salah sendiri, terlalu berambisi mau jadi polisi dunia. Makan deh tuh perang! Selain itu juga, ada defisit perdagangan Amrik dengan China. Makanya, Amrik mati-matian menekan China melalui issue dumping.


Tapi Dendi juga bilang bahwa kalau ekonomi Amrik runtuh, kemungkinan besar ekonomi banyak negara juga ikut runtuh, termasuk juga ekonomi negara sekutunya Amrik di Timteng. Jelas, kalau banyak yang rugi akibat keruntuhan ekonomi Amrik tentu banyak juga yang berkewajiban mencegah keruntuhan ini terjadi.


Patut dicatat investor besar di Amrik banyak sekali datang dari negara-negara Arab. Makanya, hubungan Arab dan Amrik ibarat “benci tapi rindu”. Masing-masing pihak saling tidak suka tapi masing-masing pihak juga saling merindukan. Arab tidak suka Amrik tapi Amrik tetap ladang investasi petro-dollarnya. Mana mau negara Arab investasi di negara yang tidak stabil? Ga lah yaw … uang cari uang! Amrik juga tidak suka Arab tapi rindu minyaknya. Jadilah, it takes two to tango! (Catatan kaki: Tapi apa sih yang baru dari hubungan “benci tapi rindu” ini? Kayaknya Indonesia dan Malaysia, Jepang dan China, Inggeris dan Amrik juga begitu. Jadi, biasa banget deh).


Sulit membayangkan cadangan devisa serta merta dialihkan ke satu mata uang saja. Ibaratnya telur, cara yang paling aman justru tidak menyimpannya dalam satu keranjang. Dengan kata lain, yang menguntungkan adalah membagi cadangan devisa tersebut dalam beberapa matauang dan bermain-main disitu.


Perspektif game theory: ancaman tidak kredibel

Dalam teori permainan dinamik, ada yang disebut dengan non-credible threat. Sebagai misal, seorang bapak yang membaca dan anak-anaknya bermain. Karena anaknya ribut, bapak ini bilang, “Awas ya. Kalau kalian ribut terus, bapak lempar kalian ke luar jendela”. Kebetulan mereka tinggal di apartemen tingkat 20 (misalnya). Apa yang terjadi? Apakah kalau anak-anaknya betul ribut, sang bapak betul melempar mereka keluar jendela? Kata game theory, ini adalah ancaman tidak kredibel karena yang optimal bagi anak dan bapak adalah anak ribut terus dan bapak tidak melemparnya keluar jendela.


Masih ada contoh lain. Ingat waktu SBY didorong untuk merombak kabinetnya. PKS mengancam akan mundur dari koalisi kalau tidak diberi tambahan menteri dalam kabinet baru. Jelas, ini ancaman tidak kredibel karena SBY tidak menambah menteri dari PKS dan PKS tidak mundur dari koalisi.


Ada contoh lagi. Waktu Hammas menang pemilu, Amrik dan Eropah mengancam akan membekukan bantuannya. Kayaknya, ini juga non-credible threat. Tetap yang optimal adalah mereka membantu pemerintahan Palestina. Mungkin tidak dalam bantuan langsung tapi bantuan kemanusiaan. Mungkin dimedia massa saja disebut bantuan kemanusiaan tetapi di lapangan bisa dialihkan jadi bantuan untuk pemerintah. Hammas dan Israel sama-sama mengancam tidak akan berunding. Sabtu lalu, ada berita dari Radio Nederland: Hammas bersedia berunding dengan Israel.


Jadi, apakah ancaman pengalihan cadangan devisa ini juga non-credible threat? Sangat bisa jadi karena menurut perspektif makro, mengalihakan cadangan devisa kedalam satu matauang bukanlah solusi optimum. Jadi, Farhad, kamu ga perlu khawatir deh …hehehe.


Bagaimana dengan ancaman serangan udara Amrik terhadap Iran? Ini juga termasuk yang tidak perlu dihiraukan. Solusi optimal bagi persoalan nuklir Iran adalah cara diplomasi, kalau bisa pakai pihak ketiga. Apalagi Amrik sudah kalang kabut dengan Iraq dan Afghanistan.


Bisa salah prediksi

Jadi, ancam-mengancam itu biasa dalam politik dan ekonomi. Tapi bagaimana dengan ancaman bom bunuh diri? Apa kata game theory? Prediksi game theory tentang non-credible threat didasarkan pada asumsi para pemain yang rasional. Kalau pemainnya tidak rasional, game theory tidak bisa memberikan prediksi. Bom bunuh diri tidak pernah jadi outcome yang feasible. Ini karena dalam game theory, semua orang diasumsikan mencintai hidupnya dan tidak mungkin membunuh dirinya sendiri.


Jelas, game theory tidak berkaitan dengan urusan surga atau ideologi. Itu sebabnya, kalau ada pihak mengancam akan membunuh Ulil (misalnya) orang jadi takut. Ini karena ada persepsi bahwa orang yang mengancam itu bisa jadi bukan orang yang "rasional" versi game theory.
Kembali ke ancaman pengalihan cadangan devisa. Prediksi game theory, ini tidak perlu dihiraukan (dengan catatan pemainnya rasional). Kalau catatan itu dilanggar, jawabnya: “wanda” (wah … nda tau ya).


Salam,mia *)

*) lulus pas-pasan mata kuliah Game Theory, itu juga udah pakai ngulang (kacian deh loe!)

Submitted by mia on Tue, 2006-04-11 14:27 http://www.ppigroningen.nl/node/184