Wednesday, November 14, 2007

Sedikit tentang jender

Apa sih jender itu? Masih banyak orang yang salah mengerti. Jender dianggap sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan hak perempuan saja”. Pokoknya, dengar kata jender langsung terbayang deh para pegiat perempuan berteriak-teriak demonstrasi. Aduh, bikin alergi deh! Kalau ingat mereka itu, rasanya hilang semua rasa ingin tau tentang jender.

Saya ingin sedikit berbagi tentang pengalaman mengenal istilah jender. Kebetulan, saya dapat tugas jadi pengamat pelatihan kelompok mandiri di desa nun terpencil, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Pelatihannya unik karena disesuaikan dengan kelompok sasaran yang buta huruf, dilaksanakannya juga di rumah reyot, bukan di balai desa. Instruksinya begini: fasilitator pelatihan menunjukkan gambar, dan para ibu dan bapak harus menebak apakah gambar itu cocok untuk laki-laki atau perempuan. Gambar tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga tidak terlihat apakah itu gambar laki-laki atau perempuan.

Gambar 1: jabang bayi dalam kandungan
Tebakan: perempuan!
Diskusi: kelompok sepakat bahwa bayi hanya bisa ada dalam kandungan perempuan. Laki-laki tidak bisa seperti itu.

Gambar 2: orang mencangkul, membajak sawah
Tebakan: laki-laki!
Diskusi: sebagian besar setuju mencangkul itu adalah tugas laki-laki.
Fasilitator menggelitik: apa iya perempuan ga ada yang bisa mencangkul dan membajak sawah? Salah seorang ibu angkat bicara: “Iya lho. Saya juga pernah mencangkul dan membajak sawah, dulu waktu bapaknya anak-anak lagi sakit.” Nah, betul kan? Perempuan juga kuat untuk mencangkul dan membajak sawah. Sebaliknya, ada laki-laki yang justru tidak kuat melakukan ini.

Gambar 3: gambar orang menangis, rambut yang panjang
Tebakan: perempuan!
Diskusi: Yang biasa menangis adalah perempuan, yang punya rambut panjang adalah perempuan.
Fasilitator menggelitik: “lho apa laki-laki tidak boleh menangis?” Ada yang bilang, “pantang, bu. Mosok wong laki cengeng. Ya, ga genah!”. Tapi laki-laki kan juga punya perasaan. Boleh toh, laki-laki yang lagi sedih menangis? Pertanyaan ini diiyakan oleh kelompok. Mengenai rambut panjang juga dibahas. Mereka setuju bahwa ada laki-laki di desa itu yang rambutnya panjang karena dapat wangsit ... hehehe

Gambar 4: dapur dan tumpukan baju kotor
Tebakan: perempuan!
Diskusi: Laki-laki ga bisa masak dan mencuci baju itu kerjaan perempuan. Fasilitator menggelitik: “lho, laki-laki kan juga bisa masak? Bisa ceplok telor, tumis sayur? Laki-laki juga bisa nyuci” Kelompok setuju bahwa laki-laki juga bisa terlibat urusan dapur dan cucian baju.

Kemudian sang fasilitator membahas lagi satu per satu gambar itu. Kelompok sepakat bahwa dari empat gambar, hanya satu yang bukan masalah jender, yaitu gambar pertama. Gambar yang lain semuanya bisa dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, jadi ada kaitannya dengan jender.

Jender bukan hanya berkaitan dengan perempuan. Jender adalah hak, kewajiban, tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungannya dengan kondisi biologisnya. Jender membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial, bukan kondisi biologis. Jadi, laki-laki tidak bisa melahirkan anak dan tidak bisa menyusui. Ini bukan masalah jender. Tapi, laki-laki tidak boleh menangis, ini masalah jender. Perempuan haid, ini bukan masalah jender. Tapi perempuan mengurus anak, masak, mencuci baju. Ini masalah jender karena mengurus anak, masak dan cuci bisa juga dilakukan oleh laki-laki. Suami isteri ke pasar, isteri lenggang kangkung, suami mengangkat semua belanjaan yang berat itu. Ini juga masalah jender. Laki-laki dipersepsikan kuat dan perempuan memanfaatkan persepsi ini. Padahal seharusnya suami dan isteri berbagi beban.

Konstruksi sosial (norma dan nilai-nilai) dalam masyarakatlah yang mendikte bahwa laki-laki tidak boleh menangis dan urusan dapur adalah urusan perempuan. Konstruksi sosial ini bisa diperbaiki jika baik laki-laki maupun perempuan sama-sama sadar jender. Tanpa kepedulian laki-laki sulit bagi perempuan untuk memperbaiki konstruksi sosial yang bias jender dan merugikan mereka.

Kelompok mandiri itu kemudian diajak berdiskusi pentingnya laki-laki membantu pekerjaan isterinya. Terlebih-lebih karena isterinya juga membantu suaminya dalam mencari nafkah rumah tangga. Perempuan membantu laki-laki, jadi boleh dong, kalau laki-laki juga diminta membantu perempuan.

Beberapa waktu kemudian, saya masih berkesempatan mengunjungi kelompok itu. Saya tanyakan pada mereka, apa sih artinya jender. Jawabnya serempak: “kerjasama, bu!”. Hm, jawabannya tidak ilmiah tapi cukup membumi. Lalu saya tanyakan pada seorang bapak, “karena bapak sudah sadar jender, bapak sekarang bantu isteri dong di rumah.” Jawabnya: “Kalau isteri saya sakit ya saya bantu. Tapi mbok ya jangan sakit toh!”. Jawabannya disambut gelak tawa teman-temannya. Terakhir tentang perbedaan upah laki-laki dan perempuan. Kata mereka “Lha wis toh, bu. Sing bayar ora jender!” Rupanya jender sudah jadi ikon “tujuan yang baik” sehingga mereka yang tujuannya tidak baik “bukan jender” … hehehe.

Konstruksi sosial memang tidak mungkin diperbaiki hanya dengan pelatihan saja. Tapi setidaknya pelatihan tersebut sudah membuka mata dan hati laki-laki dan perempuan untuk memahami masalah jender dalam kesehariannya. Pintu masuk yang cukup strategis bagi upaya kesetaraan jender di desa nun terpencil di Kabupaten Pacitan.

Hm, kesimpulan akhir, judul dan naskah tulisan ini ga nyambung. Judulnya sedikit tentang jender, naskahnya panjanggg banget. Jangan bosan, ya!

Submitted by mia on Sun, 2006-05-28 19:58
http://www.ppigroningen.nl/node/199

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home