Adakah Hak Laki-laki Untuk Tidak Punya Anak?
Ini kisah seorang “pejuang” hak laki-laki bernama Matthew Dubay di Michigan, Amerika Serikat. Ia melakukan hubungan seks dengan seorang perempuan dan punya anak. Perempuan itu menuntut Matthew untuk membiayai anaknya. Matthew menuntut balik. Katanya ia diperdaya oleh perempuan itu sehingga akhirnya si perempuan hamil padahal mereka sepakat untuk tidak menginginkan anak. Apakah Matthew sebagai laki-laki punya hak ini? Apakah ia berhak meminta pasangannya menggugurkan kandungannya?
Kasus ini menarik perhatian karena sekarang pemerintah Amerika Serikat, misalnya negara bagian Dakota Selatan, sudah mengesahkan Undang-Undang Anti-Aborsi. Undang-Undang ini melarang segala bentuk pengguguran kandungan kecuali kehamilan yang membahayakan nasib sang ibu. Kehamilan akibat perkosaan dan “incest”pun tetap dilarang untuk digugurkan. Tidak heran kalau kaum perempuan “pro-choice” jadi gerah. Namun, bagaimana dengan kaum laki-laki yang “pro-choice”?
Hak laki-laki yang terpinggirkan
Sebuah lembaga nasional untuk laki-laki di Amerika (National Center for Men) mengangkat kasus ini untuk memperjuangkan hak laki-laki untuk menentukan kehamilan yang nantinya akan mempengaruhi seluruh hidup laki-laki. Direktur lembaga tersebut mengemukakan bahwa ada kalanya laki-laki betul-betul kehilangan haknya untuk menentukan apa yang harus dilakukan jika ia tidak menghendaki kehamilan pasangannya. Hal ini karena jika laki-laki ingin menggunakan haknya itu, maka ia harus memaksa perempuan menggugurkan kandungannya. Pengadilan tidak mungkin mengizinkan ini. Jadi memang hak memiliki anak menjadi sepenuhnya hak perempuan. Perempuan yang memiliki tubuhnya dan kehamilannya. Dengan kata lain, sebenarnya hak laki-laki gugur begitu ia membuka pintu kamar tidur.
Tanggungjawab laki-laki dan hak anak
Dalam kasus Matthew, sebelum ia berhubungan sex, ia sudah katakan tidak siap punya anak. Pasangannya bilang dirinya tidak subur karena sedang memakai kontrasepsi. Tapi kemudian ia hamil dan tidak bersedia menggugurkan kandungannya. Anak perempuannya sekarang berumur delapan bulan dan Matthew diminta oleh pengadilan untuk membayar USD 500 per bulan untuk biaya hidup anak itu. Pengadilan tidak mengakui adanya unsur penipuan dalam hubungan seks diantara Matthew dan pasangannya.
Direktur lembaga yang mengurusi hukum anak, Bruce Boyer, mengatakan bahwa keputusan pengadilan itu adil. Meskipun Matthew diperdaya oleh pasangannya, ketika anaknya lahir, yang menjadi masalah bukan lagi hak Matthew melainkan hak dan kebutuhan anak tersebut. Ditambahkan oleh Marcia Greenberger dari Pusat Hukum Perempuan bahwa apapun kejahatan dibalik kehamilan perempuan, anak yang lahir harus menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya.
Standar ganda
Banyak ahli hukum yang mengakui sulitnya menyeimbangkan hak laki-laki dan perempuan dalam hal pengguguran kandungan. Untuk kehamilan canggih seperti kasus bayi tabung, IVF (In Vitro Fertilisation) laki-laki punya hak untuk tidak memiliki anak dengan cara menarik persetujuan atas embrio tersebut. Namun dalam kehamilan biasa, hak ini tidak ada. Padahal seharusnya hukum tidak boleh memaksakan laki-laki untuk memiliki anak jika ia tidak menginginkannya.
Prof. Kathrine Baker dari Universitas Kent mengatakan hak laki-laki memang tidak sama dengan hak perempuan. Dalam proses bayi tabung, laki-laki punya hak menggugurkan embrio itu sebelum ditanamkan ke dalam tubuh perempuan. Dalam kehamilan biasa perempuanlah yang menentukan bagaimana nasib si jabang bayi.
Meskipun demikian menurut Matthew dan lembaga nasional sudah saatnya laki-laki memperjuangkan hak yang sama dengan perempuan ke meja pengadilan. Mereka bertekad untuk memperjuangkan diundangkannya hak reproduksi laki-laki. Ini adalah simbol protes mereka terhadap Undang-Undang yang dirasakan tidak adil terhadap laki-laki.
Diringkas dari Chicago Tribune, Detroit Free Press
Submitted by mia on Mon, 2006-04-10 11:56
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home