Wednesday, November 14, 2007

Filsafat keadilan dari dapur

Adil bisa jadi visi misi utama organisasi di jajaran yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Tapi apakah adil hanya konsep normatif dan tidak menyentuh mereka yang bukan pengambil keputusan?


Mari berandai-andai satu kondisi paling ekstrim: seorang perempuan kepala empat (umurnya!), jomblo, hanya lulusan SD dengan angka pas-pasan, pengangguran dan tinggal sama orang tuanya yang hidupnya juga pas-pasan. Setiap hari tugasnya hanya memasak. Bagaimana perempuan ini – dengan karakteristik tadi ditambah lagi tampangnya dan kepri”bodi”an/”bodi” pekertinya juga dibawah rata-rata, kebetulan juga pemalu dan tidak suka gosip (jadi ga punya teman banyak) – bisa menciptakan keadilan? Dimana? Di dapur? Ah, masa’!


Bagi kalangan tertentu, dapur adalah tempatnya orang tidak penting. Urusan dapur adalah urusan domestik, hanya reproduktif, bukan produktif, jadi tidak ada nilai ekonominya. Urusan dapur, urusan gampang, urusan orang perempuan. Makanan adalah masalah kecil. Kalau lapar, bisa panggil pedagang yang rajin dan sabar mondar-mandir di jalan. Mulai pagi: ada tukang gado-gado pecel, gorengan, soto mie, bubur ayam. Siang: bakso, mie ayam, es buah, es teler, siomay. Malam: tahu tek-tek, sate ayam. Aduh, jadi lapar nih! Itu baru yang mondar-mandir, belum yang secara permanen mangkal di pinggir jalan. Ah, pokoknya ga bisa masak juga ga masalah. Menu yang tersedia di jalan begitu beragam: empat sehat lima sempurna deh. Jadi, wajar kalau dapur dan memasak bukan urusan istimewa.


Lalu bagaimana tokoh perempuan kita (yang hanya bisa masak) ini menerapkan filsafat keadilan di dapur (yang tidak penting)? Adil dalam urusan rasa? Manis, asem, asin (nano-nano kali)? Mungkin bukan itu. Yang lebih tepat mungkin adalah urusan membagi. Adil membagi, ini tidak gampang.


Kalau bikin lemper ayam, misalnya, yang paling susah adalah membagi ketan dan tumisan ayamnya secara adil. Kalau secara keseluruhan mengukur jumlah ketan hingga pas dengan ayamnya, ini mungkin ada di resep. Tapi bagaimana ketan dan ayam yang sudah masak itu dibagi secara individu menjadi limabelas bagian (misalnya) sedemikian sehingga lemper pertama dan lemper kelimabelas sama (kurang lebih) timbangan ketan dan ayamnya. Yang biasa terjadi, lemper pertama atau lemper kelimabelas paling banyak atau paling sedikit ayamnya. Tokoh kita bisa saja memberi tanda, lemper mana yang paling banyak ayamnya. Lemper istimewa itu yang dimakannya.


Kelihatannya sepele dan hanya tokoh perempuan kita ini yang tau apakah dia adil atau tidak. Dalam urusan bikin lemper, tokoh perempuan kita adalah pengambil keputusan utama (soal keadilan lemper) di tempat yang mungkin paling tidak utama. Si penikmat lemper mungkin merasa kok ayamnya kurang. Tapi dia tidak pernah tau apakah lemper yang dimakannya berbeda dengan lemper yang dimakan orang lain. Si penikmat hanya bisa tahu sifat adil sang tokoh perempuan kita jika – dan hanya jika – ia makan lima belas lemper berturut-turut dan menilainya satu per satu. Tapi apakah tokoh perempuan kita peduli dengan urusan ini? Bisa iya bisa tidak. Kalau tokoh kita cuek, jadilah lemper dengan rupa-rupa takaran. Tapi siapa yang akan tahu ?


Begitulah keadilan. Dalam banyak hal, hanya si pengambil keputusan yang tahu apakah keputusannya adil atau tidak. Hanya kita, sebagai mahasiswa/i (lebih-lebih bagi penerima beasiswa), yang tau apakah kita adil membagi waktu belajar, beribadah, chatting, baca internet, jalan-jalan, makan dan tidur. Hanya sang guru yang tau apakah gambar si Hasan pantas mendapat 7 sementara si Amir dapat 6.5. Seorang hakim bisa memutuskan bersalah seorang koruptor dengan kurungan 2 tahun, atau 1 tahun 11 bulan. Apa bedanya kurungan 2 tahun dengan kurungan 1 tahun 11 bulan (apalagi kalau kurang 1 bulan itu berarti ada pemasukan 10 juta – misalnya – bagi sang hakim)? Siapa yang rugi kalau si koruptor lebih sedikit hukumannya dan hakim jadi lebih kaya?


Ini berarti persoalan “asymmetric information” bukan melulu masalah ekonomi. Ia juga jadi masalah hukum. Kalau begini, satu-satunya solusi optimal yang normatif adalah hati nurani. Hati nurani harus terus diasah supaya terus peduli terhadap masalah keadilan dimana saja, kapan saja, siapa saja. Coca cola kali ye!


Kesimpulannya. Pertama, siapapun dia, dia adalah pengambil keputusan. Ini terbukti dari contoh ekstrim khayalan kita. Kedua, sifat adil tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan, kekayaan, ketenaran, kecantikan. Tokoh perempuan kita yang baca tulis pas-pasan dan miskin itu mungkin bisa lebih adil daripada professor yang kaya, ganteng dan tenar. Adil adalah urusan kepedulian dan hati nurani. Ketiga, keadilan itu tidak jauh. Dia dekat dengan keseharian kita. Ini sudah kita buktikan juga. Keadilan ternyata tidak hanya ada di istana presiden dan gedung DPR/MPR, tetapi juga di kampus, di kantor, di jalan, dan di dapur.


Selamat hari Kartini.

Juga, selamat ulang tahun ke 80 untuk Ratu Elizabeth II.

Submitted by mia on Fri, 2006-04-21 08:22

http://www.ppigroningen.nl/node/189

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home