Thursday, November 15, 2007

Politik Makanan, Politiknya Orang Indonesia

Orang Barat bilang, "katakanlah dengan bunga". Orang Indonesia bilang, "katakanlah dengan makanan". Ada pengalaman menarik bagaimana makanan bisa jadi alat untuk melunakkan hati orang Belanda.

Alkisah, saya dan suami menempati kamar baru di Groningen, Belanda Utara. Kamar ini kami dapat dari penawaran di internet. Mahasiswi, pemilik kamar tersebut hendak berlibur di awal bulan Juli dan sepulang berlibur langsung menempati apartemen baru. Rupanya, kontrak kamarnya berakhir akhir bulan Agustus, jadi ia ingin mencari pengganti untuk meneruskan dua bulan sisa kontraknya.

Karena cocok dengan kamar tersebut, kami setuju membayar dua bulan sisa kontrak pada si mahasiswi Belanda itu. Adapun untuk kelanjutannya, kami harus berhubungan langsung dengan huisbaas (yang menyewakan kamar). Kami diyakinkan olehnya bahwa tidak ada biaya makelaar untuk urusan kamar ini. Si huisbaas hanya akan meminta kami membayar deposit sebesar satu bulan sewa kamar. Deposit itu akan dikembalikan jika ternyata tidak ada kerusakan kamar pada waktu kami berhenti menyewanya.

Setelah menempati kamar itu satu bulan, kami mendadak didatangi oleh si huisbaas. Katanya, selain biaya kamar dan deposit, dia juga akan mengenakan biaya kontrak sebesar €100. Itu adalah biaya penandatanganan kontrak, begitu katanya. Tentu saja kami terkejut karena €100 itu besar jumlahnya. Juga, biaya itu sama sekali tidak ada dasarnya karena sebenarnya kami hanya meneruskan sewa kamar si mahasiswi itu. Namun pada saat itu kami manut-manut aja dan bikin janji untuk penandatanganan kontrak.

Sebelum penandatanganan kontrak itu, kami mencari informasi dari tetangga kamar kami. Tak satupun di antara mereka yang membayar biaya kontrak. Jadi memang si huisbaas itu saja yang "nakal". Maklum kami satu-satunya penghuni non-Belanda di rumah itu. Namun, ada satu masalah. Kami sangat khawatir jika pada saat bernegosiasi terjadi gontok-gontokan yang berakhir dengan pengusiran. Artinya, karena si huisbaas bisa saja bilang, "oke, kalau kalian tidak mau bayar €100, silakan keluar dari sini". Apalagi, memang kami belum punya kontrak dengannya. Wah, mimpi buruk!

Kata orang: "opposite attracts". Jauh lebih baik jika perempuan yang bernegosiasi dengan si huisbaas. Kalau suamiku, kemungkinan besar keduanya sama-sama keras akhirnya tidak ada win-win solution. Walhasil, saya dan salah seorang teman Belandaku yang juga perempuan akan menghadapi si huisbaas. Kami akan sampaikan baik-baik mengapa biaya kontrak €100 itu kami anggap tidak masuk akal. Kalau perlu, ditawar aja. Supaya proses tawar-menawar lancar dan agak santai, harus juga ada makanan.

Pisang goreng dan bakwan
Begitulah, saat penandatanganan kontrak, saya dan temanku itu menata meja yang di atasnya tersedia banyak sekali pisang goreng (konon orang Belanda suka sekali makan pisang goreng) dan bakwan sayur. Begitu masuk kamar, si huisbaas agak kaget melihat banyak cemilan di situ. Kami ngobrol-ngobrol dan minum teh dan kopi. Betul perkiraanku, dia suka sekali makan pisang goreng dan bakwan. Saya bilang padanya bahwa dalam budaya Indonesia, biasanya tamu pulang bawa oleh-oleh. Ini supaya keluarga di rumah juga kebagian makanan. Tampaknya dia terkesan. Saya juga mengajak dia ikut makan malam namun katanya masih ada urusan lain, urusan kontrak juga. Si huisbaas ini rupanya mengelola 300 kamar kos-kosan di Groningen. Ccckkk … luar biasa.

Obrolan berlanjut. Saya bilang bahwa perabotan kamar ini milik mahasiswi Belanda yang sedang berlibur itu. Sepulang berlibur, dia akan mengambilnya. Si huisbaas bertanya ke mana akan membeli perabotan pengganti. Saya bilang, "apa lagi kalau bukan Mamamini". Mamamini adalah toko loak favorit mahasiswa di Groningen.

Akhirnya kami sampai pada urusan kontrak. Kontrak itu kami baca sama-sama. Tidak ada kejanggalan di situ. Saya menandatanganinya dan pembayarannya bisa ditarik langsung oleh huisbaas dari rekening suamiku. Lalu kata si huisbaas, "mengenai pembayaran biaya kontrak €100 itu yang saya sampaikan sebelumnya, hmm… itu dipakai saja untuk membeli perabotan di Mamamini". Waduh, senangnya setengah mati. Saya berterima kasih dan segera membungkuskan pisang goreng dan bakwan sebanyak-banyaknya untuk dibawanya pulang.

Rupanya huisbaas itu sama sekali tidak menyangka akan diperlakukan dengan sangat ramah. Karenanya, ia merasa malu jika masih harus memaksa kami membayar €100. Saya dan temanku merasa sangat bahagia karena kami tidak perlu berdebat, cukup menyuguhkan pisang goreng dan bakwan. Bagi orang Indonesia, banyak sekali masalah yang bisa diselesaikan dengan makanan.

http://www.ranesi.nl/tema/belanda/pengalaman_di_belanda050826/politik_makanan_060925

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home