Wednesday, November 14, 2007

Piala Kebanggaan Budi

Waktu kecil dulu, Sabtu sore selalu jadi saat yang dinanti-nantikan. Dialah saat kedatangan majalah Bobo, Si Kuncung, dan Kawanku. Sungguh menyenangkan berakhir pekan ditemani aneka cerita anak-anak. Diantara cerita yang berkesan adalah cerita tentang seorang anak laki-laki bernama Budi. Begini kisahnya.


Adalah seorang anak kelas 5 SD bernama Budi. Rajin dan tekun belajar serta bercita-cita tinggi, itu sifatnya. Sayangnya, Budi belum pernah jadi juara sekolah. Setiap tahun selalu ada anak yang terpilih jadi juara sekolah dari sekian banyak juara kelas. Sang juara sekolah ini diizinkan membawa pulang sebuah piala perak selama satu tahun. Setahun kemudian, piala itu dikembalikan ke sekolah untuk diperlombakan lagi.


Tentu saja semua anak yang rajin belajar sangat mendambakan piala bergilir itu. Budi juga. Dalam mimpinya, ia membayangkan piala itu jadi miliknya. Mimpi itulah yang memaksa Budi belajar dengan tekun. Kadang-kadang ia harus mengorbankan keinginannya untuk main bola. Tapi niatnya sudah bulet (seperti slogannya PDIP). Godaan apapun tidak digubrisnya.
Kerja keras Budi tidak sia-sia. Diakhir tahun ajaran, pengumuman juara sekolah dibacakan oleh Kepala Sekolah. Ketika namanya disebut, Budi hampir-hampir tak percaya. Dia maju menerima piala itu dengan mata berkaca-kaca. Sungguh luar biasa!


Begitulah kisahnya. Budi sangat membanggakan pialanya. Kerabat dan handai taulan datang berkunjung menyentuh bahkan memeluk piala tersebut. Begitu mereka pulang, segera Budi menggosok pialanya dengan lap bersih, pakai brasso kalau perlu. Tidak diizinkan olehnya sidik jari bahkan setitik debu pun hinggap di situ.


Budi terlena oleh waktu. Kesibukannya menggosok dan mengagumi keindahan pialanya membuatnya lupa belajar. Ia lupa bahwa ujian sudah dekat. Budi gagal dalam ujian akhir tahun. Siapa yang menyangka mantan juara sekolah ternyata tidak naik kelas?

Apakah memenangkan piala itu justru adalah bencana? Seandainya Budi tidak jadi juara kelas, tentu ia tidak tinggal kelas. Tetapi jika Budi cerdas mengelola kemenangannya, bisa jadi piala itulah yang justru mendorongnya belajar lebih tekun dan jadi juara sekolah lagi. Berarti bola memang ada di tangan Budi.


Yang jelas dari cerita itu adalah bahwa Budi punya dua masalah: ia terlena oleh prestasinya (baca: sombong); ia terlena oleh waktu. Yang pertama itu adalah sikap (attitude) yang tidak terpuji. Tetapi yang kedua lebih parah lagi karena ia sudah jadi tindakan (behavior).

Waktu adalah sumberdaya, jadi tidak menghargai waktu berarti tidak menghargai sumberdaya. Kata nenek (orang bule), time is money! Betul banget. Uniknya lagi, waktu adalah satu-satunya sumberdaya yang dibagikan oleh Allah secara sama rata pada semua makhlukNya. Makanya QS Al Ashr: 1-3 jadi bacaan sholat paling favorit. Bukan karena singkatnya (becanda!) tapi justru karena kedalaman maknanya.


Salam anget,

Mia *)

*) lagi berpacu dengan waktu,(sebagai otokritik) mungkin akibat sindrom PKB (Piala Kebanggaan Budi)

Submitted by mia on Fri, 2006-07-21 10:43
http://www.ppigroningen.nl/node/229

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home