Thursday, November 15, 2007

Menyoal empati Barat terhadap Islam

Tulisan ini terinspirasi oleh komentar mas Eko dimilis deGromiest. Sebagai Muslim, kita meminta dunia untuk empati terhadap Islam dan menghormati Islam. Tapi bagaimana cara menarik empati terhadap Islam.

Pertama-tama, harus kita sadari bahwa empati itu bukan hadiah dari Barat terhadap Islam. Ia bukan sesuatu yang kita minta hari ini dan bisa kita dapatkan keesokan harinya. Empati itu adalah perjuangan. Mungkin Allah SWT belum mengizinkan perjuangan yang mudah dan cepat. Perjuangan Islam adalah perjuangan yang panjang dan berliku, penuh duri dan onak. Berapa panjang perjuangan itu? Panjang sekali, bisa berpuluh tahun, bergenerasi. Wallahualam. Banyak analog menarik mengenai perjuangan. Apakah realistis untuk berpikir bahwa perjuangan memerangi kemiskinan itu mudah? Begitu Galiro ditelorkan, orang-orang kemudian sadar dan peduli, aktif menyumbang lalu tidak ada lagi kemiskinan di Indonesia, titik. Galiro melalui, dan akan terus melalui, jalan panjang dan berliku. Ternyata tidak mudah mencari simpati donatur. Sumbangan bulan turun naik, semangat juga turun naik. Ini baru Galiro yang kecil dan imut-imut itu. Perjuangan Islam adalah perjuangan yang besar menyangkut umat yang jumlahnya ratusan juta dengan ratusan juta masalah juga.

Kedua, perjuangan menarik empati Barat harus dilakukan dengan cara yang damai dan cerdas. Banyak yang berpikir bahwa suara umat Islam hanya bisa didengar oleh Barat jika kita menempuh cara kekerasan, mengancam membunuh, menyandera, dll. Barat baru gentar jika melihat Kedutaannya dibakar, warganya diancam dan disandera. Tapi cara seperti ini tidak akan menghasilkan empati melainkan antipati, konterproduktif terhadap Islam. Barat, dengan segenap kekuatannya, pasti akan mempersiapkan cara lain untuk menangkal Islam. Islamfobia disebarluaskan, peraturan negara dibuat sedemikian sehingga menghambat akses bagi orang Islam, mungkin juga beasiswa untuk negara Islam dialihkan ke negara Afrika, China, dll. Pada akhirnya isolasi terhadap Islam justru memperlebar jurang terhadap Islam dan Barat. Perjuangan mencari empati terhadap Islam makin panjang dan makin berliku. Ibaratnya Galiro, cara menggalang sumbangan bukan dengan mencuri sepeda. Kita tau bahwa tujuan yang mulia tidak boleh ternoda oleh cara yang tidak mulia. Kata mas Eko, Rasulullah adalah sebuah kemulian. Kalau bisa saya tambahkan, kemuliaan Rasulullah dan Islam yang mulia itu harus dibela dengan cara yang mulia. Mudah-mudahan kita sepakat bahwa cara kekerasan dan mengancam membunuh bukanlah cara yang mulia.

Ketiga, it takes two to tango. Baik Islam dan maupun Barat harus sama-sama toleran dan membuka diri untuk dialog dan berdiplomasi. Kedua pihak harus mau mengerti persoalan keduanya. Empati hanya bisa didapat dari empati. Jika Islam ingin Barat empati, Islam juga harus empati terhadap Barat. Tidak adil jika nilai-nilai kebebasan dipaksakan kepada Islam. Tetapi tidak adil juga memaksa Barat yang lebih duluan menjadi modern untuk bersikap seperti orang Islam. Bagi Barat yang occidentalist, akal manusia ada diatas agama. Bagi Islam tidak demikian. Barat tidak boleh Islamphobia, tetapi Islam juga tidak boleh Westernphobia. Siapa yang harus memulai ini, siapa yang harus mengajak bertango? Kalau Barat tidak mau, Islam juga bisa memulainya.

Mungkin ini saat yang tepat untuk memikirkan cara terbaik untuk mencari empati Barat terhadap Islam. Mungkin berbuat baik terhadap non-Muslim juga bisa jadi cara yang efektif. Ini juga saat yang tepat untuk menunjukkan bahwa Islam tidak menyetujui cara kekerasan dalam perjuangannya. Tidak ada persoalan tanpa solusi, tidak ada solusi tanpa komunikasi. Tapi walaupun solusi itu tidak cepat dan komunikasi itu tidak mudah, kita tidak putus asa. Amin ya Robbal Alamin

Submitted by Palmira Bachtiar on Thu, 2006-02-09 12:43
http://cafe.degromiest.nl/node/249

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home