Thursday, November 15, 2007

Mengerti dan dimengerti oleh orang lain

Tulisan ini dibuat karena ingin menanggapi komentar mbak Uyung terhadap tulisan mas Teguh. Mbak Uyung sungguh heran mengapa teman biologist nya tidak percaya Tuhan. Saya merasa teman biologist itu juga merasa heran mengapa mbak Uyung percaya Tuhan dan memakai jilbab, 5 x sehari sholat serta 30 hari puasa menahan lapar, haus dan segala nafsu. Ada teman saya yang pernah bilang begitu. ?Kenapa sih perempuan Islam harus menyembunyikan rambutnya yang indah dan tubuhnya yang molek?? Saya bilang padanya, ?kalau kamu dilahirkan di Indonesia, dalam tradisi keluarga yang agama Islam yang ketat dan dengan pengalaman keagamaan yang sungguh romantis, saya yakin kamu saat ini sedang berjilbab?

Seandainya teman biologist itu diletakkan dalam konteks mbak Uyung, mengalami sejarah dan pengalaman hidup seperti mbak Uyung, sangat mungkin dia tidak mempertanyakan lagi keberadaan Tuhan. Di lain pihak, jika mbak Uyung lahir dan dibesarkan dalam keluarga teman biologist itu, sangat mungkin juga saat ini pertanyaan tentang Tuhan timbul dalam diri mbak Uyung. Wallahualam.Ada cerita lain lagi. Tanteku sudah sejak lama tinggal di Belanda dan bersuamikan orang Belanda. Saudaraku, anak2 tanteku itu, sudah punya anak2 tapi mereka belum menikah, hanya samen leven saja. Kata tanteku, ?Tolong jangan menilai mereka dari sudut pandang orang Indonesia. Mereka lahir dan dibesarkan di sini, jadi wajar jika nilai2 yang dianutnya adalah nilai2 di sini.? Saya pikir, betul juga. Mungkin seandainya saya lahir dan dibesarkan di Belanda dalam tradisi Belanda, sangat mungkin saat ini saya ga beda dengan saudaraku itu, samen leven dan tidak beragama. Wallahualam.

Kata temanku orang Arab, ada pepatah Arab yang bunyinya begini: kata2mu akan berbeda jika tanganmu ada dalam air panas. Artinya, hanya sebagian kecil saja dari tubuh kita ada dalam kondisi yang berbeda, persepsi kita sudah berbeda ... apalagi jika seluruh tubuh kita diletakkan dalam kondisi yang jauh berbeda dengan kondisi sekarang.

Kadang2 renunganku menjadi lebih panjang. Seandainya saya terlahir nun di Afghanistan sana, sangat mungkin saat ini saya sedang memakai burka, buta huruf, atau sedang dalam kamp pelatihan Al Qaeda ... hehehe bad luck!.... (footnote: asumsi Al Qaeda betul berada di Afghanistan!). Kedengarannya lucu tapi hanya dengan menempatkan diri dalam konteks itu, saya mengerti mengapa ada orang yang kemudian memilih menjadi teroris. Dia dibesarkan dalam tradisi yang sangat ekstrim, dicuci otak, diberi iming2 mati syahid dan langsung masuk surga. Buatnya, mati sekarang jauh lebih baik daripada mati sepuluh atau dua puluh tahun lagi ... toh dia tidak punya apa2 di dunia ini. Tidak ada pekerjaan, tidak ada jabatan, tidak ada uang ... hanya kemiskinan. Lalu, mengapa harus menunda mati dan masuk surga? Hai dunia, tolong mengertilah dia.

Tapi kemudian, bagaimana jika saya terlahir sebagai orang Yahudi? Aduh amit2 jabang bayi ?. sungguh ngeri membayangkan diriku dibenci oleh seluruh umat Islam. Tapi seandainya saya lahir sebagai orang Palestina, saya pun akan sangat benci orang Yahudi karena mereka menyerobot tanahku. Ah ? akhirnya saya memang harus bersyukur tidak terlahir seperti itu.

Perenunganku sampai pada kesimpulan: sangat sulit untuk menilai seseorang tanpa melihat sejarah dan pengalaman hidupnya. Sejarah dan pengalaman hidup kita saat ini menjadi jauh lebih kompleks dibandingkan beberapa abad yang lalu karena pesatnya perkembangan teknologi informasi, transportasi dan telekomunikasi. Siapa tahu suatu waktu nanti, teman biologist itu bertemu seorang Muslim di internet dan menikah dengannya dan kemudian percaya kepada Tuhan? Kenapa tidak? Zaman yang cepat berubah menuntut kita lebih banyak mengerti orang lain. Insya Allah orang lain juga akan mengerti kita. Amin.

Submitted by Redaksi on Fri, 2005-10-28 00:00
http://cafe.degromiest.nl/node/221

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home