Tuesday, February 26, 2008

Sahur yang efisien dan efektif

Makan subuh-subuh memang tidak selalu menyenangkan. Apalagi kalau ga bisa ikutan kuis sahur … hehehe. Tapi berpuasa tanpa sahur bukanlah cara berpuasa yang berkelanjutan karena sahur menghindarkan kita dari anjlognya produktifitas. Jadi, bersahur dengan efektif membantu kita menikmati puasa, mengambil manfaat sebesar-besarnya dari puasa.

Efektifitas sahur sangat ditentukan oleh pilihan menu. Hindari makan mie cepat saji. Ini karena kandungan MSG nya yang tinggi. Padahal, MSG adalah sumber rasa haus. Masakan sahur juga sebaiknya menghindari kaldu sebangsa meggie. Minuman bersoda saat sahur juga tidak dianjurkan sama sekali karena merangsang rasa haus.

Sebaliknya, sayur dan buah sangat dianjurkan karena kandungan seratnya memerlukan waktu untuk dicerna. Hasilnya, rasa lapar bisa tertunda. Tapi bagi penderita maag, lebih baik menghindari sayur kol. Konon, seratnya terlalu tajam dan kandungan gasnya tinggi untuk lambung yang sensitif.

Nasi mungkin jadi makanan pokok kesayangan. Tapi entah mengapa pengalaman saya, makan spaghetti jauh lebih efektif daripada nasi (makan spaghetti nya lebih banyak kali yeee!). Laparnya lama lho. Gimana kalau kita bikin percobaan aja. Nanti tolong dicoba juga, ya teman-teman! Apa ini pendapat yang subyektif atau cukup obyektif.

Bagi yang betul-betul sibuk, sahur dengan spaghetti bisa jadi sangat efisien. Efisien artinya input – dalam hal ini tenaga dan waktu – yang dipakai bisa ditekan seminimum mungkin. Kata lainnya, praktis! Jadi, urusan cuci-cuci bisa dikurangi.

Caranya, saus spaghetti bisa dibikin untuk beberapa kali makan sahur. Simpan di kulkas. Kalau ga punya kulkas, beli dulu lah yaw! Di mamamini aja … hehehe, toko kesayangan jeh.
Nah, bangun sahur, langsung masak spaghettinya. Masak air pakai water boiler biar cepat. Sambil nunggu, masak juga air di kompor. Dikit aja. Nah, kalau yang di water boiler udah mendidih langsung aja dicemplungin ke panci. Masukin deh itu spaghetti. Jangan lupa kasih garam dan minyak zaitun. Garam biar spaghettinya udah agak gurih duluan. Minyak zaitun biar spaghetti ga lengket. Kalau ga ada minyak zaitun, minyak bunga matahari juga oke. Tapi jangan pakai minyak rambut ya … hehehe!

Nah kalau sudah masak, langsung deh dicampur sama saus dari kulkas. Dicampur pas masih panas, jadi si saus ga perlu dipanasin lagi. Udah deh taruh di piring. Cepat kan? Dan yang perlu dicuci hanya panci untuk masak spaghetti, piring dan sendok. Apalagi kalau makannya langsung di pancinya … Wadduh kebangetan efisiennya!

Jangan lupa keju booo! Keju juga bagus untuk menunda lapar lho! Lebih bagus lagi kalau saus spaghetti dicampur dengan sayuran, misalnya paprika, sukini atau buncis. Betulan deh, enak lho makan sahur pakai spaghetti.

Yang punya oven. Wah, bisa lebih cepat lagi. Semuanya disiapin malamnya. Taruh di atas mangkuk pirex (berikut kejunya). Bangun subuh, langsung nyalakan oven. 15 menit cukup. Sambil nunggu, bisa siapin susu coklat. Spaghetti panas-panas dengan keju yang meleleh. Wadduh, enak, rek!

Udah ah! Gue kayak nenek-nenek bawel deh!Selamat mencoba ya.

Wassalam,Mia

P.S.Udah coba spaghetti pakai ikan sardin? Wah, ini lekker, hoor. Masaknya sama dengan saus daging cincang. Hanya aja, tambahin kunyit biar berkurang amisnya ikan. Supaya jadi super lekker, tambahin daun bawang, irisan cabe dan sayuran (paprika, sukini atau buncis). Hm … nyam nyam!

Submitted by Redaksi 06 on Wed, 2006-10-04 22:55
http://cafe.degromiest.nl/node/310

Woman Right is Human Right

Di milis deGromiest ada diskusi tentang buruh perempuan yang dibayar lebih rendah daripada buruh laki-laki. Izinkan saya ikut sumbang pendapat tentang hal ini.

Apa sih maunya perempuan?
Jawaban lebih akurat mungkin bisa diperoleh dari orang tua. Apa sih yang diinginkan orang tua terhadap anak perempuannya? Mengapa orang tua menyekolahkan anak perempuannya dan membiarkan anak perempuannya menggantungkan cita-citanya setinggi langit? Setiap orang tua pasti menginginkan anak perempuannya kelak jadi mandiri dan bisa menghidupi dirinya sendiri, syukur-syukur bisa membantu orang tuanya. Kalau kebetulan dapat jodoh, bisa membantu suaminya di jaman serba susah ini. Atau tidak begitu?

Jadi, sama seperti laki-laki, perempuan maunya memang banyak: mau dihargai, mau ikut berpartisipasi, mau memajukan bangsa, negara dan agama. Mungkin itu tinggi di awang-awang tapi semuanya bisa dimulai dari “punya penghasilan”. Mereka yang punya penghasilan, kurang lebih dapat dikatakan “mandiri secara ekonomi”.

Perlakuan diskriminatif
Tidak ada orang tua yang tega melihat anak perempuannya diperlakukan berbeda daripada anak laki-laki di sekolahnya. Kalau anak perempuan kita diberi nilai rendah, atau tidak diizinkan ikut lomba mengarang hanya karena dia berjenis kelamin perempuan, tentu saja orang tua protes dong. Itu artinya, orang tua ingin anak perempuannya tidak didiskriminasi terhadap anak laki-laki. Sama persis, orang tua juga tidak ingin anak laki-lakinya tidak didiskriminasi terhadap anak perempuan. Kalau kebetulan, anak laki-laki suka menjahit, orang tua bisa protes jika guru tidak mengizinkan anak tersebut ikut pelajaran menjahit karena dia adalah laki-laki.

Menurut ilmu manajemen, perlakuan diskriminatif bukan hanya merugikan si korban tetapi juga merugikan organisasi dan masyarakat secara keseluruhan. Si korban akan menarik diri karena tidak terima diperlakukan begitu, tetapi organisasi dan masyarakat akan kehilangan keahlian yang dimiliki si korban. Semua rugi. Sayang ya?

Nasib buruh perempuan
Hal ini membawa kita pada cerita buruh perempuan yang dibayar lebih rendah daripada buruh laki-laki. Pertanyaan mendasar: apa sih keberatannya laki-laki kalau buruh perempuan dibayar sama seperti buruh laki-laki untuk kualitas kerja yang sama? Apakah gaji juga harus berjender? Seandainya kita adalah orang tua dari buruh perempuan itu, apa reaksi kita?

Buat saya, hegemoni laki-laki kurang lebih sama dengan hegemoni “Barat”. Kalau Barat selalu merasa lebih superior, mungkin begitu pula laki-laki. Karenanya, harus ada kesetaraan jender, yaitu kesetaraan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Saya tidak menafikkan kenyataan bahwa ada kelompok perempuan yang ekstrim berjuang sampai-sampai kayaknya jadi kebablasan: apa-apa yang salah, pasti laki-laki. Ini juga tidak betul. Sama tidak betulnya kalau ada yang menganggap apa-apa yang salah, pasti “Barat”.

Bagaimana dengan pernyataan ini: kalau buruh perempuan tidak terima digaji lebih rendah, berhenti saja bekerja dan keluar dari pabrik itu. Pragmatis dan sederhana. Saya jadi teringat kata-kata orang Perancis pasca kerusuhan etnis Arab dan Afrika beberapa bulan lalu. Katanya: kalau orang imigran itu tidak senang perlakuan diskriminatif, keluar saja dari Perancis. Juga sama dengan kata-kata pejabat kita: kalau orang Ahmadiyah tidak suka dengan peraturan Indonesia, sila cari suaka ke negara lain. Tapi apa iya harus begitu?

Pasti ada jalan keluar lain. Seperti kata pepatah, dimana ada jalan di situ ada kemauan, eh … kebalik! Dimana ada kemauan, di situ ada jalan. Jadi, masalahnya justru terletak pada kemauan. Maukah laki-laki sama-sama dengan perempuan memperbaiki keadilan jender di dunia yang serba tidak adil ini?

Submitted by Palmira Bachtiar on Sun, 2006-05-28 19:29.
http://cafe.degromiest.nl/node/277