Tuesday, February 26, 2008

Woman Right is Human Right

Di milis deGromiest ada diskusi tentang buruh perempuan yang dibayar lebih rendah daripada buruh laki-laki. Izinkan saya ikut sumbang pendapat tentang hal ini.

Apa sih maunya perempuan?
Jawaban lebih akurat mungkin bisa diperoleh dari orang tua. Apa sih yang diinginkan orang tua terhadap anak perempuannya? Mengapa orang tua menyekolahkan anak perempuannya dan membiarkan anak perempuannya menggantungkan cita-citanya setinggi langit? Setiap orang tua pasti menginginkan anak perempuannya kelak jadi mandiri dan bisa menghidupi dirinya sendiri, syukur-syukur bisa membantu orang tuanya. Kalau kebetulan dapat jodoh, bisa membantu suaminya di jaman serba susah ini. Atau tidak begitu?

Jadi, sama seperti laki-laki, perempuan maunya memang banyak: mau dihargai, mau ikut berpartisipasi, mau memajukan bangsa, negara dan agama. Mungkin itu tinggi di awang-awang tapi semuanya bisa dimulai dari “punya penghasilan”. Mereka yang punya penghasilan, kurang lebih dapat dikatakan “mandiri secara ekonomi”.

Perlakuan diskriminatif
Tidak ada orang tua yang tega melihat anak perempuannya diperlakukan berbeda daripada anak laki-laki di sekolahnya. Kalau anak perempuan kita diberi nilai rendah, atau tidak diizinkan ikut lomba mengarang hanya karena dia berjenis kelamin perempuan, tentu saja orang tua protes dong. Itu artinya, orang tua ingin anak perempuannya tidak didiskriminasi terhadap anak laki-laki. Sama persis, orang tua juga tidak ingin anak laki-lakinya tidak didiskriminasi terhadap anak perempuan. Kalau kebetulan, anak laki-laki suka menjahit, orang tua bisa protes jika guru tidak mengizinkan anak tersebut ikut pelajaran menjahit karena dia adalah laki-laki.

Menurut ilmu manajemen, perlakuan diskriminatif bukan hanya merugikan si korban tetapi juga merugikan organisasi dan masyarakat secara keseluruhan. Si korban akan menarik diri karena tidak terima diperlakukan begitu, tetapi organisasi dan masyarakat akan kehilangan keahlian yang dimiliki si korban. Semua rugi. Sayang ya?

Nasib buruh perempuan
Hal ini membawa kita pada cerita buruh perempuan yang dibayar lebih rendah daripada buruh laki-laki. Pertanyaan mendasar: apa sih keberatannya laki-laki kalau buruh perempuan dibayar sama seperti buruh laki-laki untuk kualitas kerja yang sama? Apakah gaji juga harus berjender? Seandainya kita adalah orang tua dari buruh perempuan itu, apa reaksi kita?

Buat saya, hegemoni laki-laki kurang lebih sama dengan hegemoni “Barat”. Kalau Barat selalu merasa lebih superior, mungkin begitu pula laki-laki. Karenanya, harus ada kesetaraan jender, yaitu kesetaraan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Saya tidak menafikkan kenyataan bahwa ada kelompok perempuan yang ekstrim berjuang sampai-sampai kayaknya jadi kebablasan: apa-apa yang salah, pasti laki-laki. Ini juga tidak betul. Sama tidak betulnya kalau ada yang menganggap apa-apa yang salah, pasti “Barat”.

Bagaimana dengan pernyataan ini: kalau buruh perempuan tidak terima digaji lebih rendah, berhenti saja bekerja dan keluar dari pabrik itu. Pragmatis dan sederhana. Saya jadi teringat kata-kata orang Perancis pasca kerusuhan etnis Arab dan Afrika beberapa bulan lalu. Katanya: kalau orang imigran itu tidak senang perlakuan diskriminatif, keluar saja dari Perancis. Juga sama dengan kata-kata pejabat kita: kalau orang Ahmadiyah tidak suka dengan peraturan Indonesia, sila cari suaka ke negara lain. Tapi apa iya harus begitu?

Pasti ada jalan keluar lain. Seperti kata pepatah, dimana ada jalan di situ ada kemauan, eh … kebalik! Dimana ada kemauan, di situ ada jalan. Jadi, masalahnya justru terletak pada kemauan. Maukah laki-laki sama-sama dengan perempuan memperbaiki keadilan jender di dunia yang serba tidak adil ini?

Submitted by Palmira Bachtiar on Sun, 2006-05-28 19:29.
http://cafe.degromiest.nl/node/277

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home