Thursday, November 15, 2007

Freedom of speech, perempuan dan Holocaust

Freedom of speech yang diagungkan oleh Barat memang konsep yang sulit dicari batasnya. Freedom of speech merupakan arena bebas untuk membangun opini publik yang bisa menyesatkan, apalagi jika dilontarkan oleh orang-orang terkenal, karena bisa saja opini itu sekedar “socially constructed” dan rasis. Jelas, Muslim bukan satu-satunya korban freedom of speech. Sebut saja, mereka yang berkulit hitam yang dianggap bangsa yang terbelakang dan kaum gipsi dikategorikan sebagai kaum yang hanya bisa hura-hura. Menariknya, guru bahasa Inggeris saya di British Council dulu pernah bilang bahwa orang Indonesia itu rasis. Guruku itu protes berat dengan julukan “bule” yang dianggapnya merendahkan orang kulit putih. Menurutnya, bule diasosiasikan oleh orang Indonesia sebagai bangsa yang murahan dan suka sex bebas.

Sebenarnya ada peristiwa menarik tahun lalu seputar freedom of speech. Tersebutlah seorang jenius bernama Lawrence Summer, presiden Universitas Harvard yang gaya hidupnya memang urakan dan penuh kontroversi. Dilahirkan dalam keluarga berpendidikan tinggi dengan dua orang pamannya pemenang Nobel ekonomi, Lawrence menjadi salah seorang professor termuda di Harvard. Dia pernah jadi pejabat Bank Dunia tetapi harus mengundurkan diri karena nota pribadinya yang berjudul “Let them eat pollution” bocor ke publik. Disitu dia katakan bahwa negara berkembang harusnya bisa menjadi tempat pembuangan sampah industrinya negara maju dan tidak ada salahnya Bank Dunia mendukung program itu. Tentu saja hal ini sama sekali tidak etis bagi Bank Dunia yang konon “menjunjung tinggi” etika pembangunan. Cerita tentang pribadi Bapak Summer begitu panjang dan kadang-kadang menggelikan. Mulai dari cara berpakaiannya, perceraiannya dan beberapa kisah-kisah cinta selanjutnya, sampai ke kebiasaannya berbicara dengan mulut yang penuh makanan sehingga air liurnya muncrat ke muka lawan bicaranya. Gerimis dong!

Nah, apa yang terjadi tahun lalu adalah Pak Summer dalam pidatonya melontarkan pernyataan bahwa ada perbedaan gender dalam genetik perempuan yang menjelaskan mengapa hanya sedikit perempuan berhasil di bidang sains dan matematika. Kontan pernyataan ini dianggap melecehkan perempuan dan melukai hati perempuan sedunia. Protes datang dari berbagai kalangan. Dalam arena gender, memang kental tarik menarik antara mereka yang percaya bahwa kemampuan intelektual perempuan dan laki-laki memang berbeda secara biologi dan mereka yang berpendapat bahwa perbedaan itu bukan secara biologi melainkan dalam tekanan social dan diskriminasi terhadap perempuan.

Kebetulan beberapa tahun yang lalu saya pernah mengajukan pertanyaan seputar etika kepada dosenku orang Inggris. Dalam kamus orang pembangunan tidak ada kata “malas”. Pertanyaan saya, “mengapa haram hukumnya mengatakan petani itu miskin karena malas tapi sah-sah saja untuk bilang mahasiswa itu malas karenanya tidak lulus”. Dosen saya menjelaskan bahwa petani adalah simbol orang teraniaya, jadi tidak etis untuk mengkritiknya. Padahal, kadang-kadang saya bisa lihat dengan mata kepala sendiri kemalasan petani. Atau bagaimana dengan petani di negara maju yang habis-habisan disubsidi yang berarti tidak teraniaya?

Kasus serupa, kata dosenku itu, adalah haram untuk mengatakan orang Yahudi bersalah. Bagi orang Barat, orang Yahudi sudah teraniaya, jadi tidak boleh lagi dianiaya. Padahal sebenarnya Barat juga mengakui pendudukan dan kekejaman Israel di Timur Tengah. Itu sebabnya pernyataan Presiden Iran Ahmadinejad menuai protes karena mempertanyakan kebenaran Holocaust dan karena usulnya menghapuskan negara Israel dari peta dunia. Bagi banyak kalangan Presiden Ahmadinejad sama seperti Pak Summer berhak memakai kebebasannya berekspresi.

Lalu dimana letak freedom of speech? Inti kebebasan berekspresi ada dalam pernyataan Voltaire “I might not agree with what you have to say but I will defend to death your right to say it”. Tidak ada yang boleh melarang Pak Summer atau Presiden Ahmadinejad untuk mengutarakan pendapatnya walaupun bisa jadi tidak seorangpun setuju dengan pendapat itu. Mereka yang tidak setuju dengan pendapat itu boleh protes, boleh membawanya ke pengadilan, tetapi tidak yang boleh mengancam membunuh Pak Summer atau Presiden Ahmadinejad atas pendapatnya itu.

Orang-orang besar seperti Lawrence Summer atau Presiden Ahmadinejad boleh memakai haknya dan harusnya mengetahui apa yang terjadi jika hak tersebut dipakai. With freedom of speech comes responsibility. Pertimbangan kebaikan dan keburukan penggunaan hak itulah yang cermin kebebasan berekspresi yang bertanggungjawab. Lawrence Summer harusnya tahu bahwa pendapatnya bisa dijadikan alasan untuk mendiskriminasikan perempuan. Presiden Ahmadinejad juga harusnya mengerti bahwa gerakan Anti-Semit masih hidup dan kebencian terhadap orang Yahudi masih ada. Jadi, bagaimana dengan kasus koran Jylland-Posten? Apakah koran tersebut sama haknya seperti Lawrence Summer dan Presiden Ahmadinejad? Jika iya, apakah Jylland-Posten tidak mempertimbangkan bahwa kartun tersebut hanya menambah kebencian terhadap Islam dan berarti akibat buruknya jauh lebih besar daripada kebaikannya?

Submitted by Palmira Bachtiar on Sat, 2006-02-25 10:58
http://cafe.degromiest.nl/node/257

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home